BAB 1 : E-book "The Ultimate Surrender"

Table of Contents

Belenggu Kemarin: Membuka Genggaman pada Luka

Langit senja di beranda belakang rumah Mbah Jarkoni berwarna jingga keunguan, seperti memar yang indah. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi menguar, membawa kedamaian yang entah kenapa terasa begitu rapuh. Jatmiko duduk bersila di atas tikar pandan, menyeruput teh jahe hangat, matanya tertuju pada satu sosok di ujung beranda.

Raras.

Ia duduk di kursi goyang tua, namun kursi itu tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya kaku, tatapannya kosong menembus pagar tanaman teh di kejauhan. Seolah ia ada di sana, namun juga berada di tempat lain yang sangat jauh, di waktu yang lain.

"Lihatlah Raras, Le," bisik Mbah Jarkoni pelan, suaranya serak dan berat seperti kayu tua. Ia duduk di samping Jatmiko, mengunyah singkong rebus. "Dia itu seperti musafir yang paling kuat sekaligus paling bodoh."

Jatmiko mengerutkan kening. "Kuat tapi bodoh, Mbah?"

"Iya. Dia kuat sekali memikul ransel yang beratnya minta ampun, tapi cukup bodoh untuk tidak pernah berpikir menurunkannya, bahkan saat istirahat," jawab Mbah Jarkoni sambil menunjuk ke arah Raras dengan dagunya. "Ransel tak terlihat yang isinya lebih berat dari dosa para politisi."

Raras, yang rupanya memiliki pendengaran tajam, menoleh perlahan. Matanya yang sendu menatap Mbah Jarkoni. "Mbah ini bisa saja. Aku tidak sedang memikul apa-apa."

"Oh ya?" Mbah Jarkoni tersenyum jenaka. "Lalu kenapa napasmu sesak seolah sedang mendaki gunung? Kenapa pundakmu melengkung seolah menahan langit? Aku mungkin sudah tua, Ras, tapi mataku masih bisa melihat beban yang tidak kasat mata."

Keheningan mengambil alih. Suara jangkrik mulai terdengar. Akhirnya, dengan suara bergetar, Raras bertanya, "Kalau Mbah bisa melihatnya, memangnya apa isi ranselku?"

Mbah Jarkoni menelan kunyahannya, menatap Raras dengan tatapan yang menembus lapisan pertahanannya. "Batu-batu bernama 'kemarin', Nduk. Setiap batu punya ukiran wajah, setiap batu punya rekaman suara. Dan kamu, setiap hari, memeluk batu-batu dingin itu seolah mereka adalah selimut yang paling hangat."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raras. Pertahanannya runtuh.

Kisah Sang Pemikul Batu


Bagi Raras, masa lalu bukanlah sekadar kenangan. Ia adalah sebuah ruangan tempat ia tinggal. Di dalam ruangan itu, sebuah film diputar tanpa henti: pengkhianatan seorang sahabat, janji yang diingkari oleh kekasih, kata-kata tajam dari keluarga. Ia hafal setiap dialognya, setiap ekspresi wajahnya, bahkan rasa sesak di dada yang selalu datang di adegan yang sama.

"Ini bukan batu, Mbah. Ini bagian dari diriku. Luka ini yang membentukku," isak Raras. "Bagaimana aku bisa melepaskannya? Bagaimana aku bisa memaafkan? Memaafkan mereka sama saja dengan mengatakan bahwa perbuatan mereka itu benar dan tidak apa-apa."

Ia mencengkeram dadanya. "Rasa sakit ini... setidaknya ini nyata. Ini pengingat bahwa aku pernah begitu tulus, sebelum mereka hancurkan."

Jatmiko menatapnya dengan iba. Ia mengerti. Siapa yang tidak punya batu seperti itu di dalam ranselnya?

Petuah Mbah Jarkoni: Seni Melepas Bara Api


Mbah Jarkoni bergeser, mendekati Raras. Ia tidak menepuk atau memeluknya. Ia hanya duduk diam di dekatnya, membiarkan keheningan memberi ruang bagi isak tangis itu.

Setelah beberapa saat, ia berkata lembut, "Nduk, kalau ada orang memberimu segenggam bara api, apa yang akan kamu lakukan?"

Raras menyeka air matanya. "Aku lempar, tentu saja."

"Kenapa?"

"Karena panas! Karena akan membakar tanganku!"

Mbah Jarkoni mengangguk perlahan. "Tepat. Sekarang, anggaplah kebencian, dendam, dan luka hatimu itu adalah bara api yang sama. Orang itu mungkin sudah lama pergi setelah memberikannya padamu. Tapi kamulah yang terus menggenggam bara itu erat-erat. Kamulah yang telapak tangannya melepuh. Kamulah yang merasakan panasnya setiap detik. Orang itu? Dia mungkin sudah lupa, sudah meniup-niup tangannya yang hanya hangat sesaat."

Raras terdiam.

"Lukamu itu nyata, Raras. Rasa sakitmu itu valid," lanjut Mbah Jarkoni. "Tapi memaafkan dan melepaskan itu bukan hadiah untuk orang yang melukaimu. Itu adalah hadiah kemerdekaan untuk dirimu sendiri. Melepas genggaman itu bukan berarti kamu lupa, atau setuju dengan perbuatannya. Itu berarti kamu memilih untuk tidak lagi mati-matian memegangi bara api yang membakar telapak tanganmu."

Kutipan Sunyi:

“Satu-satunya waktu yang bisa kau tinggali adalah sekarang. Kenapa memilih tinggal di rumah yang sudah terbakar?”

Latihan Kontemplatif: Meletakkan Batu-Batu Kemarin


  1. Duduklah dalam hening. Pejamkan mata. Ambil tiga napas dalam-dalam, hembuskan perlahan seolah melepaskan ketegangan hari ini.
  2. Visualisasikan sebuah ransel di punggungmu. Rasakan beratnya, rasakan tali-talinya menekan pundakmu.
  3. Dengan niat tulus, bayangkan kamu menurunkan ransel itu dan membukanya di hadapanmu.
  4. Satu per satu, raihlah sebuah batu dari dalamnya. Lihatlah batu itu. Mungkin di sana terukir sebuah wajah, sebuah peristiwa, atau sebuah kalimat yang menyakitkan.
  5. Genggam batu itu. Akui rasa sakitnya. Ucapkan dalam hati, "Aku melihatmu. Aku merasakanmu. Aku mengakui rasa sakit ini."
  6. Lalu, ucapkan, "Terima kasih telah mengajariku tentang kekuatan/ketahanan/pentingnya batas diri." Temukan satu saja pelajaran dari batu itu.
  7. Sekarang, dengan penuh kesadaran, letakkan batu itu di tanah. Bayangkan ia menyatu kembali dengan bumi, menjadi netral.
  8. Lakukan ini pada beberapa batu lainnya jika kamu sanggup. Jika tidak, satu saja sudah cukup untuk hari ini.
  9. Setelah selesai, lihatlah ranselmu yang kini lebih ringan. Ucapkan terima kasih pada dirimu sendiri.

Afirmasi Surrender

Ucapkan dengan lembut pada dirimu sendiri, letakkan tangan di dada:

"Hari ini, aku memilih kebebasanku. Aku melepas genggamanku pada luka, bukan karena aku lemah, tetapi karena aku cukup kuat untuk melanjutkan hidup. Masa laluku adalah pelajaran, bukan hukuman seumur hidup."

Panduan "Zero ON Moment"

Setiap kali film masa lalu mulai berputar di kepalamu, jangan melawannya. Alihkan seluruh kesadaranmu pada satu tarikan dan hembusan napas. Rasakan udara sejuk masuk melalui hidung, rasakan udara hangat keluar. Di antara tarikan dan hembusan itu, ada jeda sepersekian detik. Sebuah titik hening.

Itulah Titik Nol.

Tinggallah di sana, walau hanya sedetik. Di sanalah tidak ada 'kemarin' dan belum ada 'besok'. Di sanalah kamu bebas. Di sanalah ransel itu tidak ada. Di sanalah surrender terjadi.

Bersambung....

Posting Komentar