BAB 10 : E-Book "The Ultimate Surrender"
Rak Buku Spiritual: Melepas Pengetahuan untuk Mengalami Pengetahuan
Pagi itu, Jatmiko sedang duduk termenung di tepi kolam ikan, wajahnya sedikit muram. Ningrum, dengan niat baiknya yang tulus, menghampirinya sambil membawa dua cangkir teh hangat.
"Kamu terlihat sedang dikunjungi awan mendung, Jatmiko," kata Ningrum, duduk di sebelahnya. "Ingat kata para master Zen, 'Rasa sakit itu pasti, penderitaan adalah pilihan'. Kenapa kamu memilih untuk menderita karena cerita di pikiranmu?"
Jatmiko tersenyum tipis, senyum yang terasa letih. "Aku tahu, Ningrum. Terima kasih. Tapi aku... hanya sedang merasa sedih saja."
Jawaban itu seolah tidak memuaskan Ningrum. Ia membuka 'laci-laci' pengetahuan di kepalanya, mencari konsep yang tepat. "Tapi kesedihan itu kan hanya ego yang merasa..."
"Ningrum ini ilmunya sudah setinggi Gunung Semeru, Le," potong Mbah Jarkoni yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka. Ningrum sedikit terkejut.
Mbah Jarkoni tersenyum menenangkan. "Dia punya perpustakaan paling lengkap di kepalanya. Tahu semua nama jalan, semua persimpangan." Ia berhenti sejenak, lalu menatap Ningrum dengan tatapan lembut. "Tapi kadang, orang yang punya peta paling lengkap adalah orang yang paling sering tersesat, Nduk. Karena dia terlalu sibuk membaca dan menghafal peta, sampai lupa melihat jalan setapak yang ada persis di depan kakinya."
Kisah Sang Pustakawan yang Kelaparan
Bagi Ningrum, pengetahuan adalah segalanya. Rak buku di benaknya tersusun rapi: ada lorong Stoikisme, lorong Buddhisme, lorong Sufisme. Ia punya kutipan untuk setiap situasi, punya konsep untuk setiap emosi. Rak buku ini adalah kebanggaannya, identitasnya.
Namun, rak buku yang megah itu telah menjadi benteng yang memenjarakannya. Ketika sebuah emosi mentah seperti kesedihan atau kemarahan muncul, ia tidak mengizinkan dirinya untuk merasakannya. Ia akan segera berlari ke perpustakaan batinnya, mencari label yang tepat. "Oh, ini hanya keterikatan." "Ah, ini ego-ku sedang beraksi." "Ini adalah ilusi dualitas."
Dengan melabeli, ia merasa telah 'mengatasi' emosi itu. Padahal, ia hanya membekukannya dengan nitrogen cair intelektualitas. Ini adalah mekanisme pertahanan yang sangat canggih. Lebih aman untuk berpikir tentang kesedihan daripada tenggelam dalam kesedihan. Lebih nyaman menjadi analis perasaan daripada menjadi orang yang merasakan.
Pengetahuannya, alih-alih menjadi jembatan menuju pengalaman, justru telah menjadi tembok yang menghalanginya dari pengalaman itu sendiri. Ia menjadi seorang pustakawan yang tahu semua resep masakan di dunia, tapi ia sendiri belum pernah benar-benar makan dan merasakan nikmatnya.
Petuah Mbah Jarkoni: Jangan Makan Menunya, Makan Makanannya
"Ilmumu itu seperti daftar menu makanan di restoran paling mewah, Nduk," kata Mbah Jarkoni, mengambil sehelai daun dari kolam. "Kamu bisa menjelaskan dengan sangat detail rasa rendang, aroma opor, dan tekstur gudeg. Kamu hafal semua bumbu dan cara masaknya. Kamu bisa berdebat berjam-jam tentang mana yang lebih enak. Tapi selama kamu hanya membaca dan menganalisis menunya, perutmu akan tetap keroncongan."
Ningrum menunduk. Kata-kata itu tepat mengenai sasaran.
"Kamu tidak akan pernah tahu kelezatan sejati dari makanan itu sampai kamu meletakkan menunya, mengambil sendok, dan menyuapkan makanan itu ke mulutmu. Mengunyahnya. Merasakannya di lidahmu."
Mbah Jarkoni mengangkat daun di tangannya. "Sama seperti ini. Aku bisa memberimu nama latinnya, menjelaskan proses fotosintesisnya. Tapi semua pengetahuan itu tidak sebanding dengan pengalaman sederhana saat kamu menyentuhnya, merasakan teksturnya, mencium aromanya."
"Letakkan petamu sejenak, Nduk. Rasakan tanah di bawah kakimu. Itulah pengetahuan yang sejati."
Kutipan Sunyi:
“Jari yang menunjuk ke bulan bukanlah bulan itu sendiri. Kamu terlalu sibuk mengagumi dan menganalisis jari telunjuk itu, sampai lupa mengangkat wajahmu untuk melihat keindahan bulan purnama.”
Latihan Kontemplatif: Meletakkan Peta, Merasakan Tanah
- Duduklah dengan nyaman. Ketika sebuah emosi (apapun itu) mulai muncul, sadari kecenderungan pertamamu untuk langsung memberinya nama, menganalisisnya, atau mencari kutipan spiritual yang sesuai.
- Tahan keinginan itu. Ucapkan pada dirimu, "Untuk satu menit ke depan, aku tidak akan menganalisis. Aku hanya akan merasakan."
- Alihkan seluruh perhatianmu dari kepala ke tubuh. Tanyakan pada dirimu, "Di mana aku merasakan emosi ini di tubuhku?"
- Apakah ada rasa sesak di dada? Simpul di perut? Tegang di bahu? Panas di wajah? Jadilah seorang ilmuwan yang mengobservasi data fisik, bukan seorang filsuf yang berdebat konsep.
- Jangan mencoba mengubah atau menghilangkan sensasi fisik itu. Cukup bernapaslah ke area tersebut. Bayangkan napasmu memberi ruang dan kelembutan pada area yang tegang itu.
- Latihan sederhana ini adalah praktik "memakan makanan", bukan lagi "membaca menu".
Afirmasi Surrender
Letakkan satu tangan di kepala dan satu tangan di hati. Rasakan koneksi di antara keduanya. Ucapkan:
Panduan "Zero ON Moment"
Gunakan ini setiap kali kamu sadar sedang terjebak dalam labirin analisis di kepalamu. Namanya: Tiga Sentuhan Sadar.
Segera, secara sadar, sentuh tiga benda berbeda di sekitarmu.
- Sentuh meja di depanmu. Rasakan tekstur kayunya yang kasar atau halus.
- Sentuh cangkir tehmu. Rasakan kehangatannya yang menjalari jari-jarimu.
- Sentuh kain bajumu. Rasakan kelembutan atau kekasarannya.
Tiga sentuhan inderawi ini secara paksa menarik kesadaranmu dari dunia konsep yang abstrak di dalam pikiran, kembali ke dunia nyata yang bisa dirasakan di sini dan saat ini. Momen ketika kamu benar-benar merasakan tekstur kayu alih-alih memikirkan konsep 'kekosongan'—itulah Titik Nol-mu. Momen kembalinya kamu ke rumahmu yang sejati: tubuhmu.
1 komentar