BAB 11 : E-Book "The Ultimate Surender"

Table of Contents

Menyapa Sisi Gelap: Berdansa dengan Bayanganmu Sendiri

Suasana di pendopo sore itu terasa hangat sampai Bagus mulai berapi-api menceritakan rencana bisnis barunya. Ia bicara tentang target, keuntungan, dan ekspansi pasar. Matanya berbinar penuh ambisi.

Wira, yang sedari tadi menyendiri di pojok, mendengus pelan. "Ujung-ujungnya juga cuma soal serakah," celetuknya dingin, memecah antusiasme Bagus. "Mengeksploitasi sumber daya alam, memeras keringat orang kecil, demi memperkaya diri sendiri. Semua kapitalis itu sama saja."

Udara seketika membeku. Wajah Bagus memerah, siap membalas. "Ini bukan serakah! Ini inovasi! Menciptakan lapangan kerja!"

Sebelum perang mulut meletus, Mbah Jarkoni yang sedang memilin tali sabut kelapa, angkat bicara tanpa menoleh. "Wir," katanya tenang. "Setiap kali kamu menunjuk seseorang dengan satu jari telunjuk, coba perhatikan, ada berapa jari lain yang melipat dan menunjuk ke arah mana?"

Wira, sedikit bingung, secara refleks melihat tangannya sendiri yang terkepal. Jari telunjuknya lurus, tapi jari tengah, manis, dan kelingkingnya melipat ke dalam, menunjuk ke telapak tangannya sendiri. Menunjuk ke dirinya.

Mbah Jarkoni akhirnya menoleh, matanya menembus pertahanan sinis Wira. "Musuh besar bernama 'keserakahan' yang begitu jelas kau lihat pada Bagus itu... jangan-jangan adalah bagian dari dirimu sendiri yang paling kau takuti dan kau kurung rapat-rapat di ruang bawah tanah jiwamu."

Kisah Sang Tuan Rumah yang Takut pada Tamu di Ruang Bawah Tanah

Di dalam diri setiap manusia, ada sebuah 'ruang bawah tanah'. Ke sanalah kita melempar semua sifat, perasaan, dan dorongan yang kita anggap 'buruk', 'tidak pantas', atau 'tidak spiritual'. Sifat marah, iri hati, serakah, egois, rasa takut, nafsu—semua kita kunci di sana. Inilah yang disebut Sang Bayangan (The Shadow).

Masalahnya, apa yang kita kunci di ruang bawah tanah tidak akan hilang. Ia hanya akan tumbuh semakin liar dan buas dalam kegelapan. Dan karena kita terlalu takut untuk menemuinya di dalam diri kita sendiri, Sang Bayangan ini punya cara cerdik untuk muncul ke permukaan: proyeksi.

Kita melihat Bayangan kita sendiri dengan sangat jelas pada diri orang lain. Orang yang paling sering marah-marah pada 'pemalas' di sekitarnya, mungkin sedang berperang dengan kemalasannya sendiri yang ia tekan. Orang yang paling vokal mengutuk 'keserakahan', mungkin sedang mati-matian menyangkal ambisinya sendiri untuk memiliki lebih.
Wira begitu membenci 'sistem yang serakah' karena ia mengunci rapat-rapat 'serigala ambisi' di dalam dirinya. Ia takut jika serigala itu lepas, ia akan menjadi monster yang sama dengan yang ia benci. Maka, ia menghabiskan seluruh energinya untuk menyerang serigala-serigala yang ia lihat di padang rumput orang lain, sementara serigalanya sendiri melolong kelaparan di dalam kegelapan hatinya.

Petuah Mbah Jarkoni: Beri Nama Serigalamu, Jangan Membunuhnya

"Di dalam diri setiap orang itu ada sekawanan serigala, Le," kata Mbah Jarkoni, kembali memilin talinya. "Ada serigala welas asih, ada serigala amarah. Ada serigala kedermawanan, ada serigala keserakahan. Selama ini, kamu berusaha keras meracuni dan mengurung serigala-serigala yang kau anggap 'gelap'."

"Tapi serigala yang dikurung dan dibiarkan kelaparan justru akan menjadi yang paling buas dan berbahaya. Suatu saat ia akan mendobrak pintunya dan memangsamu tanpa kendali," lanjutnya.

"Tugas seorang gembala jiwa yang bijak bukanlah membunuh serigala gelapnya. Tapi mengenali mereka, mendekatinya dengan hati-hati, memberinya nama, dan belajar menjadi tuannya. Belajar kapan harus memberinya makan secukupnya, dan kapan harus menyuruhnya duduk tenang di sisimu. Itulah yang disebut 'berdansa dengan bayanganmu'. Kamu tidak melawannya, kamu menuntunnya menjadi kekuatan."

"Amarah yang kau tuntun bisa menjadi energi untuk memperjuangkan keadilan sejati. Ambisi yang kau sadari bisa menjadi bahan bakar untuk menciptakan karya besar. Jangan jadi penjaga penjara, jadilah pawang yang berdaulat."

Kutipan Sunyi:

“Seorang psikolog bijak pernah menulis: 'Seseorang tidak mencapai pencerahan dengan membayangkan sosok-sosok terang, tapi dengan berani menyadari dan membawa kegelapan dalam dirinya ke dalam cahaya. Karena bayangan yang tidak disadari tidak akan hilang, ia akan terus muncul sebagai takdirmu.'”

Latihan Kontemplatif: Mengundang Sang Bayangan untuk Minum Teh

  1. Pikirkan tentang satu sifat pada orang lain yang paling memancing amarah atau penghakimanmu. (Contoh: Sifat 'arogan', 'manja', 'egois').
  2. Sekarang, dengan kejujuran radikal, tanyakan pada dirimu: "Di bagian mana dari hidupku, atau dalam situasi apa, aku juga pernah menunjukkan setidaknya 1% dari sifat ini?" Cari dengan sabar. Mungkin sifat 'arogan' itu bersembunyi di balik 'aku tahu yang terbaik'. Mungkin 'manja' itu bersembunyi di balik 'aku butuh istirahat'.
  3. Setelah kamu menemukannya, jangan menghakimi dirimu. Ini adalah langkah yang sangat berani.
  4. Pejamkan matamu. Bayangkan sifat itu sebagai sesosok figur atau energi. Inilah Sang Bayanganmu.
  5. Dalam imajinasimu, siapkan sebuah meja dengan dua cangkir teh hangat. Undang sosok Bayangan itu untuk duduk di hadapanmu. Katakan padanya, "Aku melihatmu. Aku tahu kamu ada di sini. Kamu tidak perlu lagi bersembunyi dalam gelap. Mari kita bicara."
  6. Latihan ini bukan untuk menyukai Sang Bayangan. Tujuannya adalah untuk berhenti berpura-pura ia tidak ada. Ini adalah langkah pertama untuk mengambil kembali kekuatan yang selama ini kau buang.

Afirmasi Surrender

Letakkan satu tangan di hatimu. Rasakan dirimu seutuhnya. Ucapkan dengan keberanian:

"Aku adalah terang sekaligus bayangan. Aku memeluk semua bagian dari diriku tanpa penghakiman. Dengan membawa sisi gelapku ke dalam cahaya kesadaran, aku menjadi utuh, jujur, dan berdaulat."

Panduan "Zero ON Moment"

Gunakan ini sebagai rem darurat saat kamu akan menghakimi orang lain. Namanya: Jari Telunjuk Batin.

Setiap kali kamu merasakan gelombang penghakiman yang sangat kuat terhadap seseorang dan mulutmu gatal ingin mengkritik, HENTIKAN.

Sebelum bicara, lakukan gerakan 'jari telunjuk batin' ini. Bayangkan kamu menunjuk orang itu, lalu dengan kesadaran penuh, putar jari telunjuk itu 180 derajat hingga menunjuk lurus ke dadamu sendiri.

Lalu tanyakan dalam hati: "Di mana sifat ini juga hidup di dalam diriku?"

Pertanyaan ini adalah pemutus arus proyeksi yang sangat kuat. Ia tidak membenarkan perbuatan orang lain, tapi ia menarik kembali energimu dari medan perang di luar ke medan perenungan di dalam. Momen ketika jarimu berbalik arah—itulah Titik Nol-mu. Momen di mana kamu berhenti menyerang cerminan dirimu sendiri.

Bersambung...

Posting Komentar