BAB 12 : E-book "The Ultimate Surender"

Table of Contents

Aku Adalah Keyakinanku: Mematahkan Jeruji Penjara Pikiran

Jatmiko semakin banyak diam beberapa hari ini. Bukan diam yang kosong, tapi diam yang penuh pengamatan. Ia mulai melihat benang-benang tak kasat mata yang menggerakkan teman-temannya seperti wayang.

Ia melihat Raras sedikit tersentak saat seseorang tak sengaja meninggikan suaranya. Ia melihat Bagus secara refleks meraih ponselnya setelah lima menit tidak melakukan apa-apa. Ia melihat Ningrum mengutip sebuah buku saat ditanya perasaannya. Ia melihat Wira tersenyum sinis saat mendengar berita baik tentang orang lain.

"Mbah," kata Jatmiko saat mereka berdua duduk di beranda sore itu. "Saya mulai melihatnya. Ini semua bukan sekadar emosi sesaat atau kebiasaan buruk. Di bawah itu semua, ada sesuatu yang lebih dalam. Seperti... sebuah program komputer yang berjalan di latar belakang, yang mengendalikan semuanya."

Mbah Jarkoni tersenyum lebar, senyum seorang guru yang bangga melihat muridnya menemukan kepingan teka-teki yang penting. "Kamu berhasil melihatnya, Le. Program tak kasat mata itu namanya Keyakinan Inti."

Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kacamata hitam yang sudah usang. "Keyakinan Inti itu seperti kacamata yang kamu pakai sejak kecil. Saking lamanya kamu pakai, kamu lupa kalau kamu sedang memakainya. Kamu kira warna dunia memang seperti itu."

Mbah Jarkoni menyodorkan kacamata itu. "Kalau kamu memakai ini, seluruh dunia akan terlihat lebih gelap. Pertanyaannya, apakah dunianya yang gelap, atau hanya kacamatamu?"

Kisah Para Tahanan yang Tidak Tahu Mereka di Dalam Penjara

Keyakinan Inti adalah "kebenaran" fundamental yang kita pegang tentang diri kita, orang lain, dan dunia. Ia terbentuk di masa kecil, dari perkataan orang tua, pengalaman, atau budaya. Ia begitu meresap hingga menjadi fondasi dari rumah mental kita. Kita tidak lagi mempertanyakannya; kita hidup di dalamnya.

Setiap karakter di pendopo itu hidup dalam penjara yang dibangun oleh keyakinan intinya sendiri:

  1. Penjara Raras dibangun oleh keyakinan: "Aku tidak pantas dicintai," dan "Pada akhirnya, semua orang akan pergi." Karena itu, ia tanpa sadar memilih pasangan yang tidak tersedia atau mendorong pergi orang yang tulus, hanya untuk membuktikan bahwa keyakinannya benar.
  2. Penjara Bagus dibangun oleh keyakinan: "Nilai diriku setara dengan pencapaianku." Karena itu, ia tidak pernah bisa beristirahat. Berhenti sejenak terasa seperti kematian, karena di saat itu ia merasa 'tidak berharga'.
  3. Penjara Wira dibangun oleh keyakinan: "Dunia ini tidak adil dan orang lain hanya ingin memanfaatkanmu." Karena itu, ia tidak mampu menerima kebaikan atau kepercayaan tulus. Selalu ada udang di balik batu.
  4. Penjara Ningrum dibangun oleh keyakinan: "Aku harus paham segalanya untuk bisa aman dan berharga." Karena itu, ia terpenjara dalam perpustakaan otaknya, takut pada pengalaman langsung yang tidak bisa ia kontrol dengan inteleknya.

Mereka semua adalah tahanan yang setiap hari memegang kunci sel mereka sendiri, tapi mereka tidak tahu. Mereka mengira jeruji besi penjara itu adalah jendela untuk melihat dunia.

Petuah Mbah Jarkoni: Bersihkan Kacamatamu, Bukan Mengecat Ulang Dunia

"Langkah pertama untuk melihat dunia dengan warna aslinya bukanlah dengan mencoba mengecat ulang seluruh isi dunia," kata Mbah Jarkoni. "Itu pekerjaan yang mustahil dan melelahkan. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu sedang memakai kacamata."

"Selama kamu tidak sadar, kamu akan mati-matian berdebat bahwa dunia ini memang gelap. Kamu akan menyalahkan dunia, menyalahkan orang lain. Tapi begitu kamu sadar, 'Oh, aku pakai kacamata hitam', di saat itulah kekuatanmu kembali."

"Sebuah keyakinan, sekuat apa pun ia terasa, hanyalah sebuah pikiran yang kamu ulang-ulang terus-menerus. Ia bukan kebenaran yang terukir di batu. Ia adalah tulisan kapur di papan tulis. Kamu bisa menghapusnya."

"Bagaimana caranya, Mbah?" tanya Jatmiko.

"Dengan mengajukan pertanyaan yang jujur pada keyakinanmu itu," jawab Mbah Jarkoni. "Tanyakan padanya, 'Wahai keyakinan bahwa aku tidak pantas dicintai, apakah kamu benar-benar 100% benar, tanpa keraguan sedikit pun, di semua situasi, sepanjang waktu?' Jawabannya hampir selalu 'tidak'. Di celah keraguan itulah letak gerbang kebebasanmu."

Kutipan Sunyi:

“Seorang penyair pernah berkata, 'Jika pintu-pintu persepsi dibersihkan, maka segalanya akan tampak sebagaimana adanya: tak terbatas.' Keyakinan-keyakinan intimu itulah pintu yang kotor dan berdebu, Le.”

Latihan Kontemplatif: Membersihkan Kacamata Batin

Latihan ini terinspirasi dari metode seorang guru bijak bernama Byron Katie.

  1. Identifikasi satu keyakinan inti negatif yang sering muncul. Tulis dalam satu kalimat pendek dan sederhana. (Contoh: "Aku harus sempurna agar diterima.")
  2. Lihat kalimat itu, lalu ajukan 4 pertanyaan ini pada dirimu dengan jujur:

  •   Pertanyaan 1: Apakah ini benar? (Biarkan jawaban spontan muncul). 

  • Pertanyaan 2: Bisakah aku tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa ini 100% benar? (Biarkan keraguan muncul. Adakah satu saja pengecualian?) 

  • Pertanyaan 3: Bagaimana reaksiku, apa yang terjadi pada diriku, saat aku mempercayai pikiran ini? (Aku merasa cemas, aku menghakimi diriku, aku tidak berani mencoba hal baru, aku lelah). 

  • Pertanyaan 4: Akan jadi siapakah aku jika aku tidak lagi mempercayai pikiran ini? (Bayangkan hidup tanpa beban keyakinan itu. Aku akan merasa bebas, lebih kreatif, lebih santai, lebih menerima diriku).

3. Latihan ini tidak bertujuan memaksa keyakinan itu hilang, tapi untuk melonggarkan cengkeramannya dengan menunjukkan kepadamu ilusi dan penderitaan yang ia ciptakan.

Afirmasi Surrender

Pegang kacamata (jika kamu memakainya) atau bayangkan kamu sedang memegang kacamata imajiner. Lalu ucapkan:

"Aku bukanlah pikiranku, dan aku bukanlah keyakinanku. Keyakinanku adalah kacamata, bukan mataku. Hari ini, dengan sadar, aku memilih untuk meletakkan kacamata lama dan berani melihat dunia dengan mata yang jernih."

Panduan "Zero ON Moment"

Ini adalah teknik untuk menciptakan jarak dari pikiran di saat-saat genting. Namanya: Label Pikiran.

Ketika kamu merasakan gelombang emosi negatif yang familier (misalnya rasa cemas karena merasa tidak mampu), sadari pikiran di baliknya. Alih-alih berkata pada dirimu, "Aku tidak mampu," ubah kalimatnya dengan menambahkan label di depannya:

"Aku sedang memiliki pikiran bahwa aku tidak mampu."

Label sederhana ini menciptakan sebuah pergeseran fundamental. "Aku" tidak lagi identik dengan "pikiran". "Aku" adalah Langit Biru yang luas, dan "pikiran" hanyalah Awan yang kebetulan lewat. Momen ketika kamu bisa melabeli awan tanpa harus menjadi awan—itulah Titik Nol-mu. Momen pembebasan dari jeruji besi pikiranmu.


Bersambung...


Yang baru gabung, silahkan kunjungi www.semestaon.com , untuk baca bab 1-11... 


Rahayu... See you... Love you... Semesta on...

Posting Komentar