BAB 2 : E-Book "The Ultimate Surrender"

Table of Contents

Fatwa Esok Hari: Berdamai dengan Cakrawala yang Belum Tiba

Pagi datang dengan cahaya mentari yang tajam, seolah ingin mengeringkan sisa-sisa embun dan melankolia dari senja kemarin. Di saung bambu yang menghadap petak-petak sawah hijau zamrud, suasana terasa berbeda. Jatmiko baru saja selesai membantu Mbah Jarkoni memberi makan ayam ketika ia melihat Bagus.

Bagus tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ujung saung, ponsel menempel di telinga, bicaranya cepat dan penuh penekanan. "Iya, pastikan proposal itu terkirim sebelum jam dua belas. No excuse! Dan bagaimana dengan data kuartal lalu? Aku mau itu ada di mejaku begitu aku kembali."

Setelah menutup telepon, ia tidak lantas duduk. Ia membuka laptopnya, jemarinya menari dengan cepat di atas papan ketik. Napasnya pendek, keningnya berkerut.

Mbah Jarkoni berjalan perlahan mendekati saung sambil membawa dua cangkir kopi hitam yang masih mengepul. Ia meletakkan satu di depan Jatmiko, dan satu lagi di dekat Bagus yang tampak tidak menyadarinya.

"Kamu itu lari terus, Gus," celetuk Mbah Jarkoni, suaranya tenang membelah udara pagi yang sibuk di kepala Bagus. "Memangnya, apa yang sedang mengejarmu?"

Bagus mendongak, sedikit terkejut. Ia tersenyum tipis, senyum seorang pejuang. "Bukan dikejar, Mbah. Tapi mengejar. Mengejar kesuksesan, membangun masa depan. Waktu kan tidak bisa menunggu."

"Hmm, mengejar..." Mbah Jarkoni menyeruput kopinya. Matanya yang teduh menatap hamparan sawah. "Pertanyaan Mbah cuma satu, Le. Kalau kamu terus mengejar cakrawala... lalu, kapan kamu akan tiba?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Sederhana, namun entah kenapa terasa menusuk pertahanan Bagus.

Kisah Sang Pelari Maraton Tanpa Garis Finis


Bagi Bagus, hidup adalah sebuah kompetisi. Papan skornya adalah pencapaian. Pikirannya adalah manajer proyek yang tidak pernah tidur, terus-menerus menyusun daftar tugas, target, dan 'langkah selanjutnya'. Ketenangan adalah kemewahan yang hanya bisa dinikmati nanti. Nanti setelah promosi jabatan. Nanti setelah punya rumah lebih besar. Nanti setelah anak-anaknya masuk universitas terbaik.

'Nanti' adalah tanah suci yang ia tuju, dan 'sekarang' hanyalah jalan tol yang harus dilalui secepat mungkin.

Kebahagiaan dari satu pencapaian terasa seperti minuman soda: berdesis sesaat, lalu hilang, menyisakan dahaga akan pencapaian yang lebih besar lagi. Di balik citranya yang sukses dan penuh semangat, bersemayam kecemasan yang akut. Cemas akan kegagalan. Cemas tertinggal dari teman-temannya. Cemas bahwa semua yang ia bangun akan runtuh. Cemas bahwa pada akhirnya, ia hanyalah seorang penipu yang akan segera terbongkar.

"Jadi aku harus berhenti, Mbah?" tanya Bagus, nadanya sedikit defensif. "Jadi pemalas? Melepaskan semua tujuan? Apa gunanya hidup kalau tidak berjuang untuk jadi lebih baik?"

Petuah Mbah Jarkoni: Belajar dari Petani, Bukan Pelari


Mbah Jarkoni menunjuk seorang petani yang sedang menanam bibit padi di kejauhan. Pria itu bergerak perlahan, ritmis, punggungnya yang legam dibasahi keringat di bawah matahari pagi.

"Lihat Pak Tani itu, Gus. Apakah dia pemalas?" tanya Mbah Jarkoni.

"Tentu tidak, Mbah. Dia pekerja keras."

"Betul. Dia punya tujuan: panen yang melimpah. Tapi apakah dia bisa memaksa padi itu tumbuh dalam semalam? Apakah dia bisa memerintahkan matahari untuk bersinar lebih terik, atau hujan untuk turun sekarang juga?"

Bagus terdiam, mulai mengerti arah pembicaraan ini.

"Pak Tani itu melakukan bagiannya dengan sempurna," lanjut Mbah Jarkoni. "Dia mencangkul, menanam benih, merawatnya setiap hari dengan segenap jiwa. Tapi setelah itu, ia surrender. Ia pasrah pada musim, pada cuaca, pada kehendak semesta. Ia tidak cemas memandangi bibitnya setiap detik. Ia menikmati prosesnya—merasakan lumpur di kakinya, mendengar nyanyian burung, merasakan hangatnya mentari di punggungnya."

Mbah Jarkoni menatap Bagus dalam-dalam. "Masalahnya bukan pada tujuanmu, Gus. Tujuan itu baik, ia adalah kompas. Masalahnya adalah kamu menggantungkan seluruh kebahagiaanmu di garis finis, sehingga kamu lupa menikmati indahnya pemandangan selama perjalanan. Kamu ingin memanen padi, tapi kamu benci proses menanamnya."

Kutipan Sunyi:

“Orang bijak berkata, perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah. Tapi orang sering lupa, keindahan perjalanan itu ada di langkah ini, bukan di langkah ke-seribu.”

Latihan Kontemplatif: Berlabuh di Dermaga Saat Ini


  1. Pejamkan mata. Bayangkan pikiranmu adalah lautan yang berbadai, penuh dengan ombak "bagaimana jika" dan "aku harus".
  2. Di tengah lautan badai itu, visualisasikan sebuah dermaga kayu yang kokoh dan tenang. Dermaga itu bernama "Saat Ini".
  3. Dalam imajinasimu, arahkan perahu kesadaranmu keluar dari pusaran badai dan tambatkan talinya dengan kuat di dermaga itu.
  4. Duduklah di dermaga itu. Kamu masih bisa melihat badai di kejauhan (pikiran-pikiranmu), tapi kamu tidak lagi terombang-ambing oleh ombaknya. Kamu aman dan stabil.
  5. Fokuskan perhatian pada detail dermaga itu. Rasakan tekstur kayunya di bawah kakimu, dengarkan suara air yang tenang menepuk tiang-tiangnya, cium aroma laut yang damai. Ini adalah panca inderamu, jangkar-jangkarmu di masa kini.
  6. Pahamilah bahwa lautan masa depan akan selalu ada, tapi kamu selalu punya pilihan untuk kembali dan berlabuh di dermaga ini kapan pun kau mau.

Afirmasi Surrender

Letakkan tanganmu di atas meja atau pangkuanmu, rasakan kestabilannya. Ucapkan dengan kesadaran penuh:

"Aku melakukan yang terbaik hari ini, dengan apa yang kumiliki saat ini. Hasil akhir kupercayakan pada semesta. Nilai diriku tidak ditentukan oleh pencapaian esok hari, tetapi oleh kehadiranku yang utuh di saat ini."

Panduan "Zero ON Moment"

Ketika pikiranmu berlari kencang menyusun strategi untuk esok, lusa, atau tahun depan, hentikan sejenak. Ambil cangkir kopimu atau gelas air putihmu. Lakukan satu ritual sederhana ini:

Rasakan kehangatan atau dinginnya di telapak tanganmu. Hirup aromanya. Bawa ke bibirmu dan seruput perlahan. Rasakan cairan itu mengalir di kerongkonganmu. Lakukan satu aktivitas itu saja dengan 100% kesadaranmu.

Dalam lima detik itu, tidak ada target, tidak ada tenggat waktu, yang ada hanya kamu dan cangkirmu. Itulah Titik Nol-mu. Sebuah liburan singkat yang sangat mewah dari tirani pikiran akan hari esok.

Bersambung... 

Rahayu... See you... Semesta ON... 🙏💓

Posting Komentar