BAB 3 : E-Book "The Ultimate Surrender"
Table of Contents
Topeng Bernama 'Aku': Menemukan Wajah di Balik Cermin Penghakiman
Siang itu terasa ganjil. Setelah percakapan intens tentang masa lalu Raras dan masa depan Bagus, Jatmiko merasa seperti adonan yang ditarik ke dua arah berlawanan. Ia duduk sendirian di beranda, menatap bayangan dirinya yang samar di kaca jendela. Ia melihat Raras dalam keengganannya memaafkan kesalahannya sendiri. Ia melihat Bagus dalam daftar resolusi tak berkesudahan yang ia buat setiap awal tahun.
Ia begitu sibuk mengamati pecahan-pecahan jiwa orang lain, hingga ia lupa bertanya: lalu, Jatmiko itu yang mana?
Tiba-tiba, Mbah Jarkoni datang dan meletakkan sebuah cermin tua berbingkai kayu di hadapannya. Pantulan wajah Jatmiko terlihat jelas, lengkap dengan kerutan samar di keningnya.
"Coba lihat, Le. Siapa yang kamu lihat di situ?" tanya Mbah Jarkoni lembut.
Jatmiko menatap pantulan dirinya. "Saya, Mbah. Jatmiko."
Mbah Jarkoni tersenyum tipis, senyum yang seolah menyimpan ribuan rahasia. "Yakin? Atau... hanya salah satu dari sekian banyak kostum yang paling sering kamu pakai, yang kebetulan kamu beri nama 'Jatmiko'?"
Jatmiko tertegun. Kata-kata Mbah Jarkoni terasa seperti kunci yang membuka sebuah ruangan tersembunyi di dalam benaknya. Ruangan yang penuh dengan gantungan baju dan aneka topeng.
Kisah Sang Aktor yang Lupa Wajah Aslinya
Seketika, sebuah parade melintas di benak Jatmiko.
Ada 'Jatmiko si Anak Baik', yang selalu berbicara sopan dan mengangguk patuh di hadapan orang tuanya. Ada 'Jatmiko si Teman Asyik', yang selalu punya lelucon dan siap sedia mendengarkan curhat teman-temannya, menyembunyikan rasa lelahnya sendiri. Ada 'Jatmiko si Pekerja Keras', yang tampil kompeten dan percaya diri di kantor, menutupi rasa takutnya berbuat salah. Ada 'Jatmiko si Spiritualis', yang fasih mengutip para bijak di media sosial, menyamarkan kebingungannya sendiri.
Setiap topeng punya panggungnya. Setiap peran punya penontonnya.
Dan Jatmiko adalah aktor utama yang begitu profesional, hingga ia mulai kelelahan. Lelah menjaga setiap topeng agar tidak retak. Lelah memastikan setiap peran dimainkan dengan sempurna. Beban terberat bukanlah kebencian dari orang lain, melainkan ketakutan akan penghakiman mereka. Takut jika mereka melihat wajah asli di balik semua itu—wajah yang bingung, rapuh, kadang egois, kadang ragu-ragu.
"Aku lelah, Mbah," aku Jatmiko pelan, matanya masih terpaku pada cermin. "Lelah berpura-pura. Bahkan kadang, aku lupa sedang berpura-pura untuk siapa. Sebenarnya, siapa aku yang sejati jika semua ini hanyalah peran?"
Petuah Mbah Jarkoni: Dalang, Wayang, dan Cahaya
Mbah Jarkoni mengambil sebuah kerikil dan mengetukkannya perlahan pada bingkai cermin. "Tuk... tuk... tuk..."
"Di tanah Jawa ini, Le, ada pertunjukan namanya Wayang Kulit. Indah sekali," Mbah Jarkoni memulai. "Ada banyak tokoh wayang: Arjuna yang tampan, Bima yang kuat, Srikandi yang pemberani, Punakawan yang jenaka. Masing-masing punya karakter, punya peran."
"Wayang-wayang itu adalah topeng-topengmu. 'Si Anak Baik', 'Si Pekerja Keras'. Mereka semua adalah wayang yang kamu mainkan di kelir kehidupan."
"Masalahnya," lanjut Mbah Jarkoni, "kamu mengira dirimu adalah sang wayang. Kamu lupa, bahwa kamu adalah sang Dalang, yang dengan sadar memilih wayang mana yang akan dimainkan sesuai dengan lakonnya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan Jatmiko meresapi.
"Dan jika kamu mau menyelam lebih dalam lagi," bisik Mbah Jarkoni, "kamu bahkan bukan sang Dalang. Kamu adalah Cahaya di balik kelir itu. Cahaya yang membuat seluruh pertunjukan wayang ini mungkin terjadi. Tanpa cahaya kesadaranmu, tidak akan ada bayangan wayang yang bisa menari."
"Topeng itu tidak jahat, Le. Ia hanya menjadi penjara saat kamu lupa bahwa kamulah yang memakainya, bukan sebaliknya. Kebebasan itu bukan dengan membakar semua topengmu, tapi menyadari bahwa wajah aslimu ada di baliknya. Dan wajah aslimu itu terbuat dari keheningan, bukan dari penilaian orang lain."
Kutipan Sunyi:
“Seorang bijak pernah berkata, 'Persona adalah wajah yang kita tunjukkan pada dunia.' Bahayanya adalah ketika kita mulai percaya bahwa hanya itulah wajah kita satu-satunya.”
Latihan Kontemplatif: Parade Para Topeng
1. Duduklah dengan tenang, pejamkan matamu.
2. Biarkan "topeng-topeng" atau "peran-peran" yang sering kamu mainkan muncul dalam benakmu. Sebut namanya satu per satu: Si Baik Hati, Si Ambisius, Si Humoris, Si Korban, Si Penolong. Jangan menghakimi, sambut saja kehadiran mereka.
3. Pilih salah satu topeng. Ucapkan dalam hati, "Terima kasih, wahai topeng [nama topeng]. Engkau telah membantuku menjalani situasi [sebutkan situasinya]. Aku menghargai peranmu."
4. Setelah berterima kasih, bayangkan kamu meletakkan topeng itu dengan lembut di sampingmu.
5. Lakukan pada beberapa topeng lainnya.
6. Kini, rasakan ruang kosong yang ada. Rasakan dirimu yang hanya menjadi pengamat dari semua topeng itu. Di ruang inilah Wajah Aslimu berada. Damai, hening, dan utuh. Tidak perlu menjadi siapa-siapa.
Afirmasi Surrender
Letakkan tanganmu di atas hati. Rasakan detaknya. Ucapkan dengan tulus:
"Aku menghormati peran-peran yang kujalani, tetapi identitasku tidak terikat padanya. Di balik semua topeng, aku adalah kesadaran yang damai dan utuh. Aku cukup, apa adanya, di saat ini."
Panduan "Zero ON Moment"
Ini adalah latihan mikro untuk kehidupan sehari-hari.
Tepat sebelum kamu masuk ke sebuah rapat, sebelum kamu mengangkat telepon dari seseorang yang penting, atau sebelum kamu melangkah masuk ke sebuah pertemuan sosial—ambil jeda satu tarikan napas.
Dalam jeda singkat itu, sadari topeng yang akan kamu pakai. Lalu, bisikkan dalam hati: "Aku adalah kesadaran di balik peran ini."
Jeda satu napas itu adalah Titik Nol-mu. Sebuah gerbang sadar antara sang Cahaya dan sang Wayang. Sebuah pengingat akan Wajah Aslimu, sebelum pertunjukan dimulai.
Bersambung...
Rahayu... See you... Love you... Semesta ON... 🙏💓
Posting Komentar