BAB 4 : E-Book "The Ultimate Surrender"
Table of Contents
Racun Perbandingan: Memadamkan Api Iri Hati yang Membakar Diri
Sore itu, angin berembus malas. Jatmiko duduk di bale-bale bambu, tenggelam dalam cahaya biru dari layar ponselnya. Ia tidak tersenyum. Juga tidak cemberut. Wajahnya datar, namun ada kekeruhan di matanya, seperti air kolam yang dasarnya diaduk-aduk. Jarinya bergerak menggulir layar ke atas, lagi, dan lagi.
Mbah Jarkoni, yang sedang membersihkan daun-daun kering di dekatnya, berhenti sejenak dan mengamatinya.
"Wajahmu itu, Le," kata Mbah Jarkoni sambil bersandar pada sapu lidinya. "Seperti orang yang sedang minum air laut. Semakin diminum, semakin haus."
Jatmiko mendongak, sedikit kaget dari hipnosis digitalnya. Ia mencoba tersenyum. "Hanya lihat-lihat kabar teman, Mbah."
"Kabar teman atau daftar penderitaan?" balas Mbah Jarkoni telak.
Jatmiko menghela napas panjang, meletakkan ponselnya. "Temanku baru liburan keliling Eropa, Mbah. Satunya lagi diterima kerja di perusahaan impian semua orang. Yang lain baru saja melamar kekasihnya di tempat yang romantis. Rasanya... hidupku biasa-biasa saja. Tertinggal jauh."
Suaranya lirih di akhir kalimat. Sebuah pengakuan yang menyakitkan.
Kisah Sang Pengukur Rumput Tetangga
Bagi Jatmiko, dan bagi banyak dari kita, media sosial adalah sebuah galeri pencapaian orang lain. Setiap foto liburan, setiap pengumuman promosi, setiap cincin pertunangan, terasa seperti sebuah vonis atas kehidupannya yang 'stagnan'.
Racun itu meresap perlahan. Bukan racun kebencian yang meledak-ledak, melainkan racun iri hati yang dingin dan senyap. Ia mulai dengan sebuah pertanyaan, "Kenapa bukan aku?" lalu bercabang menjadi ribuan vonis diri: "Aku kurang berusaha," "Aku tidak cukup pintar," "Aku tidak seberuntung dia," "Pasti ada yang salah denganku."
Inilah kekeliruan terbesar dalam permainan perbandingan: kita membandingkan seluruh film dokumenter kehidupan kita—lengkap dengan adegan yang membosankan, dialog yang canggung, dan bagian di mana sang tokoh utama menangis di kamar mandi—dengan trailer film orang lain yang sudah disunting dengan indah.
Rasa iri itu sendiri bukanlah musuhnya. Ia hanyalah gejala. Gejala dari penyakit yang lebih dalam: keyakinan bahwa kita kurang, dan perasaan bahwa kebahagiaan adalah sumber daya terbatas yang sudah habis diambil orang lain. Rasa sakitnya bukan karena mereka bahagia, tapi karena kita percaya kebahagiaan mereka membuat jatah untuk kita berkurang.
Petuah Mbah Jarkoni: Setiap Bunga Mekar pada Musimnya
Mbah Jarkoni mengajak Jatmiko berjalan ke taman kecil di samping rumah. Di sana, bunga-bunga bermekaran dengan aneka rupa dan warna. Ada mawar merah yang angkuh, melati putih yang mungil dan wangi, dan anggrek bulan yang menempel anggun di batang pohon kamboja.
"Lihat taman ini, Le," kata Mbah Jarkoni. "Indah, bukan?"
"Indah sekali, Mbah."
"Sekarang, coba jawab. Apakah bunga mawar iri pada anggrek karena anggrek bisa tumbuh tinggi tanpa butuh tanah? Apakah melati cemas karena warnanya tidak semeriah kembang sepatu? Apakah rumput di bawah sana merasa gagal karena tidak bisa menghasilkan kelopak?"
Jatmiko menggeleng pelan.
"Setiap bunga punya kodratnya. Punya waktunya. Punya keindahannya sendiri," ujar Mbah Jarkoni. "Tugas bunga mawar bukanlah menjadi anggrek. Tugasnya adalah menjadi mawar yang paling mawar yang ia bisa. Tugasmu, Jatmiko, bukanlah menjalani skenario hidup temanmu. Tugasmu adalah menjalani dan menghayati skenario hidup Jatmiko seutuh-utuhnya."
"Kamu sibuk mengukur hijaunya rumput tetangga, sampai lupa menyirami halamanmu sendiri. Padahal di halamanmu itu, mungkin tersimpan bibit pohon jati yang kokoh, bukan sekadar rumput."
Kutipan Sunyi:
“Rumput tetangga tidak selalu lebih hijau. Kadang, itu hanya karena kita lupa menyirami halaman kita sendiri.”
Latihan Kontemplatif: Menyirami Halaman Sendiri
- Ketika perasaan iri atau rendah diri karena membandingkan diri muncul, jangan melawannya. Akui kehadirannya. Katakan dalam hati, "Ah, ini dia rasa iri. Selamat datang."
- Tarik napas dalam. Alih-alih terus melihat ke 'luar', putar pandanganmu 180 derajat ke 'dalam'.
- Sebutkan tiga hal dalam hidupmu saat ini, detik ini, yang bisa kamu syukuri. Tidak perlu hal besar. "Napas yang masih berhembus," "Secangkir teh hangat di tanganku," "Atap yang melindungiku dari panas."
- Untuk setiap hal yang kamu sebutkan, coba rasakan sensasi syukur itu di dalam tubuhmu. Biarkan ia menjadi air yang sejuk, yang menyirami halamanmu yang kering.
- Sebagai langkah bonus, kirimkan doa baik pada orang yang kamu irikan. "Semoga kamu bahagia dengan jalanmu, dan semoga aku menemukan kebahagiaan di jalanku." Ini mengubah energi iri menjadi energi welas asih.
Afirmasi Surrender
Letakkan ponselmu. Letakkan tanganmu di dada. Rasakan dirimu di sini, saat ini. Ucapkan dengan sungguh-sungguh:
"Perjalananku unik dan berharga. Aku melepaskan kebutuhan untuk membandingkan diriku dengan orang lain. Aku memilih untuk fokus menyirami dan merawat tamanku sendiri, dan percaya ia akan mekar pada waktunya yang sempurna."
Panduan "Zero ON Moment"
Gunakan teknik ini saat kamu terjebak dalam pusaran scrolling tanpa akhir.
Namanya: Jari Sadar.
Saat jarimu bergerak secara otomatis menggulir layar, hentikan gerakannya. Biarkan ujung jarimu diam di atas permukaan kaca yang dingin. Rasakan sensasinya. Ambil satu tarikan napas penuh.
Sadari bahwa kamu punya pilihan: terus menenggak air laut yang membuatmu semakin haus, atau meletakkan ponsel dan mengambil segelas air putih yang benar-benar bisa melepas dahagamu.
Momen ketika jarimu berhenti dan kamu sadar akan pilihanmu itu—itulah Titik Nol-mu. Momen ketika kekuatan kembali dari layar ponsel ke dalam genggaman tanganmu sendiri.
Bersambung...
Rahayu... See you... Love you... Semesta ON... 🙏💓
Posting Komentar