BAB 5 : E-Book "The Ultimate Surrender"

Table of Contents

Seni Memaafkan: Melepas Sauh yang Membuat Kapalmu Karam



Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang penuh perenungan. Pagi itu, Raras menemukan Mbah Jarkoni sedang duduk di dermaga kayu kecil di tepi danau, dengan sabar memperbaiki jala ikan yang robek. Tak ada lagi isak tangis di mata Raras, yang ada kini adalah kabut kebingungan yang pekat.

Ia duduk di samping Mbah Jarkoni, membiarkan kakinya berayun pelan di atas air yang tenang.

"Mbah," Raras memulai, suaranya pelan. "Aku sudah mencoba memikirkan soal bara api itu. Tapi hatiku tetap menolak. Akalku tidak bisa menerimanya."

Mbah Jarkoni terus bekerja pada jalanya, seolah sudah menantikan pertanyaan itu. "Apa yang ditolak oleh akalmu, Nduk?"

"Memaafkan terasa seperti mengkhianati diriku yang dulu. Seolah-olah aku berkata pada orang yang melukaiku, 'Tidak apa-apa, perbuatanmu kulupakan dan kumaafkan, silakan lakukan lagi.' Itu tidak adil, Mbah. Rasanya seperti membiarkan penjahat bebas tanpa hukuman."

Mbah Jarkoni berhenti sejenak. Ia menunjuk pada sebuah perahu tua yang tertambat di dermaga. Tali tambangnya yang tebal terikat pada sebuah patok besi besar.
"Lihat sauh dan tali tambang itu, Nduk. Apa gunanya?"

"Untuk menjaga perahu agar tidak hanyut, Mbah. Agar tetap di sini," jawab Raras.

"Betul," kata Mbah Jarkoni. "Sekarang bayangkan. Apa yang terjadi jika sang nahkoda ingin sekali berlayar menuju pulau seberang yang indah, tapi ia menolak mengangkat sauhnya? Bukan karena takut badai, tapi karena ia begitu membenci dermaga yang ingin ia tinggalkan."

Raras terdiam. Sebuah gambaran mulai terbentuk di benaknya.

"Perahu itu akan tetap di sana, Nduk. Terombang-ambing di tempat yang sama. Mengutuki dermaga yang menahannya, padahal tangannyalah yang menggenggam tali sauh itu. Lama-kelamaan, badan perahu itu lapuk, catnya mengelupas, dan akhirnya ia karam. Karam, justru di pelabuhan yang paling ia benci."

Kisah Sang Kapten Kapal yang Karam

Bagi Raras, penolakan untuk memaafkan terasa seperti sebuah bentuk keadilan. Sebuah cara untuk terus menghukum si pelaku di dalam pengadilan pikirannya. Ia tidak sadar, bahwa dengan menjadi hakim dan jaksa setiap hari, ia juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai narapidana seumur hidup.

Sauh dendam itu tidak hanya menahannya di masa lalu. Ia secara aktif menariknya ke bawah. Energi hidupnya terkuras untuk menjaga api amarah tetap menyala. Ia menjadi sinis pada orang baru, curiga pada niat baik, dan membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Kapal kehidupannya tidak bisa berlayar menjelajahi lautan kemungkinan baru karena sauh itu tersangkut begitu dalam di lumpur masa lalu.

Rasa sakitnya nyata, tapi penderitaannya adalah pilihan. Penderitaan itu lahir dari sebuah keyakinan: "Aku tidak akan bisa damai sebelum dia menyesal." Keyakinan inilah tali tambang yang mengikatnya pada patok dermaga yang menyakitkan.

Petuah Mbah Jarkoni: Tiga Mitos tentang Memaafkan

"Kamu, seperti banyak orang, salah paham tentang memaafkan, Nduk," kata Mbah Jarkoni sambil meletakkan jalanya. "Kamu pikir memaafkan itu untuk mereka. Padahal, ia sepenuhnya untukmu. Ada tiga hal yang bukan bagian dari memaafkan:"

  1. Memaafkan BUKAN Berarti Menyetujui. "Memaafkan bukan berarti kamu berkata, 'Perbuatanmu benar'. Ia berarti kamu berkata pada dirimu sendiri, 'Aku tidak akan lagi mengizinkan perbuatanmu di masa lalu merusak hariku di masa sekarang'. Kamu mengambil kembali kekuatanmu."
  2. Memaafkan BUKAN Berarti Lupa. "Memaafkan bukan amnesia. Luka itu akan menjadi bekas luka. Bekas luka tidak berdarah, ia tidak sakit. Ia hanya menjadi pengingat agar kamu lebih bijak dalam memilih siapa yang kamu izinkan naik ke kapalmu kelak. Lupakan rasa sakitnya, simpan pelajarannya."
  3. Memaafkan BUKAN Berarti Harus Berdamai. "Memaafkan adalah urusan vertikal, antara kamu dan kedamaian batinmu sendiri. Berdamai kembali adalah urusan horizontal, antara kamu dan dia. Kamu bisa dengan tulus memaafkan seseorang dalam hatimu, sambil tetap memutuskan bahwa orang itu tidak lagi punya tempat dalam perjalanan hidupmu. Mengangkat sauh bukan berarti kamu harus mengajak dermaganya ikut berlayar."

Kutipan Sunyi:

“Seorang bijak yang dipenjara puluhan tahun pernah berkata, 'Saat aku berjalan keluar dari gerbang penjara, aku sadar, jika aku tidak meninggalkan kebencianku di belakang, maka aku sebenarnya masih tetap berada di dalam penjara.'”

Latihan Kontemplatif: Mengangkat Sauh Karam


1. Duduklah dengan nyaman, pejamkan mata. Bayangkan dirimu adalah seorang kapten di atas kapal kehidupanmu yang indah. Tapi kapal ini terasa berat dan tidak bisa bergerak.

2. Lihatlah ke sisi kapal. Ada sebuah rantai sauh yang tebal dan berkarat, menghunjam lurus ke dalam air yang gelap dan keruh di bawah sana. Ini adalah rantai dendam dan sakit hati.

3. Ikuti rantai itu dengan kesadaranmu, turun ke dasar pelabuhan yang berlumpur. Di sana, kau lihat sebuah sauh yang besar dan berat, terbenam dalam.

4. Katakan pada sauh itu: "Tugasmu sudah selesai. Aku berterima kasih telah menjagaku, tapi kini saatnya aku berlayar."

5. Kembali ke dek kapalmu. Di sana ada sebuah katrol untuk mengangkat sauh. Mulailah memutarnya. Dengan setiap tarikan napas, putar katrolnya. Dengan setiap hembusan napas, rasakan ketegangannya sedikit mereda. Ini mungkin terasa berat. Teruslah bernapas dan memutar.

6. Lihatlah rantai itu perlahan naik. Lihat sauh itu akhirnya terlepas dari lumpur dan keluar dari air keruh.

7. Dengan satu tarikan napas terakhir yang kuat, bayangkan sauh itu sudah berada di atas dek. Kapalmu kini terasa ringan, mengapung bebas. Rasakan embusan angin di wajahmu. Kamu bebas berlayar.

Afirmasi Surrender

Letakkan tangan di atas hatimu, rasakan kehangatannya. Ucapkan dengan niat yang kuat:

"Aku memaafkan bukan untuk mereka, tetapi untukku. Aku melepaskan sauh ini agar kapalku bisa berlayar. Aku memilih lautan masa depan yang luas daripada pelabuhan masa lalu yang sempit dan karam."

Panduan "Zero ON Moment"

Gunakan ini setiap kali gelombang kemarahan atau ingatan pahit itu muncul. Namanya: Membuka Telapak Tangan.

Saat kamu merasakan genggaman sakit hati itu di dada, lihatlah telapak tanganmu. Kemungkinan besar, ia ikut menegang atau bahkan terkepal.

Secara sadar dan perlahan, buka genggaman itu. Jari demi jari. Luruskan hingga telapak tanganmu terbuka sepenuhnya, menghadap ke atas.

Tangan yang terkepal adalah tangan yang menggenggam dendam. Tangan yang terbuka adalah tangan yang siap melepas sekaligus menerima kedamaian. Momen transisi dari tangan terkepal menjadi terbuka—itulah Titik Nol-mu. Sebuah pernyataan fisik pada semesta bahwa kamu memilih kebebasan.

Rahayu... See you... Love You... Semesta ON... 🙏💓

Posting Komentar