BAB 6 : E-Book "The Ultimate Surrender"

Table of Contents

Candu Akan Pengakuan: Mencari 'Like' dari Semesta, Bukan dari Dunia



Dapur di rumah Mbah Jarkoni selalu hangat dan penuh aroma. Pagi itu, Laras bergerak seperti gasing. Ia membuatkan teh jahe untuk Raras, kopi hitam untuk Bagus, lalu sibuk mengupas singkong untuk sarapan semua orang. Wajahnya sedikit pucat, ada lingkaran samar di bawah matanya, namun senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

"Sini, biar aku bantu," tawar Jatmiko.

"Eh, tidak usah, tidak apa-apa," tolak Laras dengan cepat, senyumnya semakin lebar. "Aku senang kok bisa menyiapkan semua ini."

Mbah Jarkoni, yang sedang mengamati dari ambang pintu, berdehem pelan. "Laras itu seperti sumur, Le," katanya pada Jatmiko, namun matanya menatap lurus ke arah Laras. "Airnya manis dan menyejukkan bagi setiap musafir yang lewat. Tapi kalau terus ditimba tanpa pernah diisi ulang, lama-lama dasarnya akan terlihat. Kering."

Laras tertawa kecil, tawa yang tidak sampai ke matanya. "Ah, Mbah ini. Aku tidak apa-apa, sungguh. Aku senang bisa membantu."

Mbah Jarkoni melangkah masuk ke dapur. Ia berdiri di hadapan Laras, menatapnya dengan tatapan yang seolah menelanjangi semua kepura-puraan.

"Senang membantu, atau senang dibutuhkan? Keduanya terdengar mirip, Nduk. Tapi mata airnya berbeda."

Senyum di wajah Laras perlahan memudar.

Kisah Sang Sumur yang Menunggu Timba

Bagi Laras, kata 'tidak' adalah kata paling menakutkan di dunia. Sejak kecil, ia belajar bahwa cinta dan penerimaan adalah sesuatu yang harus diraih. Caranya adalah dengan menjadi 'anak baik', 'teman yang bisa diandalkan', 'si penolong'. Pujian adalah makanannya. Ucapan terima kasih adalah minumannya.

Ia adalah pecandu pengakuan. Setiap kali ia berhasil menolong seseorang, ada perasaan 'high' yang singkat. Perasaan bahwa dirinya berharga, bahwa eksistensinya bermakna. Ia mengukur nilai dirinya dari seberapa banyak orang membutuhkannya.

Namun, di balik semua itu, ada kekosongan yang menganga. Ada ketakutan yang luar biasa: jika aku berhenti memberi, apakah orang-orang masih akan menyukaiku? Jika aku tidak berguna bagi mereka, siapakah aku?

Dan ketika pertolongannya tidak dihargai, atau bahkan dimanfaatkan, muncul kepahitan yang dalam. Sebuah kekecewaan yang ia telan mentah-mentah, karena seorang 'penolong' tidak seharusnya merasa pahit. Ia lelah. Lelah menjadi sumur yang terus menunggu timba dari orang lain untuk memberitahunya bahwa airnya berharga.

Petuah Mbah Jarkoni: Belajarlah Menjadi Matahari, Bukan Bulan

Mbah Jarkoni mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Laras. "Minumlah dulu. Kamu memberi minum semua orang, tapi kamu sendiri kehausan."

Setelah Laras minum, Mbah Jarkoni melanjutkan. "Kamu itu selama ini berusaha menjadi Bulan, Nduk."

Laras mengerutkan kening. "Bulan, Mbah?"

"Iya, Bulan. Indah sekali saat purnama, bersinar terang di malam yang gelap. Tapi cahaya Bulan itu bukan cahayanya sendiri. Ia hanya pantulan dari Matahari. Ia butuh Matahari—pujian, pengakuan, rasa dibutuhkan—untuk bisa bersinar. Kalau langit sedang mendung dan Matahari tertutup awan, sang Bulan pun ikut lenyap dalam kegelapan."

Mbah Jarkoni menunjuk ke luar jendela, ke arah matahari pagi yang benderang.

"Sekarang, belajarlah menjadi Matahari. Matahari tidak pernah meminta izin untuk bersinar. Ia tidak butuh pujian dari bunga untuk melepaskan kehangatannya. Ia bersinar karena memang itulah kodratnya, esensinya. Ia memberi cahaya dan kehangatan bukan karena ingin balasan, tapi karena ia begitu penuh dengan cahaya dan kehangatan hingga tak bisa tidak meluap ke sekelilingnya."

"Berhenti mencari 'like' dari dunia, Nduk. Mulailah mencari 'cahaya' dari dalam. Memberi dari kelimpahan itu membahagiakan. Memberi dari kekurangan itu menguras jiwa."

Kutipan Sunyi:

“Pohon mangga tidak berbuah agar dipuji tukang kebun. Ia berbuah karena memang itulah esensinya. Manis buahnya adalah bonus bagi dunia, bukan tujuan dari keberadaannya.”

Latihan Kontemplatif: Menemukan Matahari di Dalam Diri


  1. Duduklah dengan tenang. Letakkan satu tangan di dadamu dan satu lagi di perutmu.
  2. Ingat kembali sebuah momen ketika kamu menolong seseorang dan mengharapkan pujian, namun tidak mendapatkannya. Rasakan kekosongan atau kekecewaan itu. Akui saja kehadirannya, jangan dihakimi.
  3. Sekarang lepaskan ingatan itu. Fokuskan perhatianmu pada area ulu hati (solar plexus), beberapa jari di atas pusar.
  4. Bernapaslah ke area itu. Dengan setiap tarikan napas, bayangkan kamu meniup sebuah bara api kecil di sana hingga menjadi bola cahaya keemasan yang hangat. Ini adalah Matahari Batinmu. Ini adalah nilaimu yang tak bersyarat.
  5. Dengan setiap hembusan napas, biarkan cahaya dan kehangatan itu menyebar ke seluruh tubuhmu. Mengisi setiap selmu dengan rasa cukup dan utuh dari dalam.
  6. Kamu tidak perlu melakukan apa pun untuk berhak mendapatkan cahaya ini. Ia sudah menjadi milikmu. Rasakan bagaimana rasanya diisi ulang dari sumber internalmu sendiri.

Afirmasi Surrender

Dengan tangan masih di dada, rasakan kehangatan dari dalam. Ucapkan dengan kesadaran:

"Aku melepaskan kebutuhanku akan pengakuan dari luar. Nilaiku tidak ditentukan oleh tepuk tangan orang lain. Aku adalah Matahari bagi diriku sendiri, dan aku memberi dari kelimpahan, bukan dari kekurangan."

Panduan "Zero ON Moment"

Gunakan ini sebagai pertolongan pertama saat kamu dihadapkan pada sebuah permintaan. Namanya: Jeda Sebelum "Iya".

Setiap kali seseorang meminta bantuanmu dan mulutmu sudah siap secara otomatis berkata "Iya, tentu!", paksakan sebuah jeda.
Ambil satu tarikan napas dalam-dalam. Dalam jeda satu napas itu, tanyakan pada hatimu, bukan pada rasa takutmu: "Apakah aku akan melakukan ini dari sumber kelimpahan dan cinta, atau dari sumber ketakutan akan penolakan?"

Jawaban jujur atas pertanyaan itu akan menuntunmu pada "iya" yang tulus atau "maaf, saat ini aku tidak bisa" yang berdaulat. Momen jeda sebelum menjawab itu adalah Titik Nol-mu. Momen di mana kamu merebut kembali kendali atas energimu sendiri.

Posting Komentar