BAB 7 : E-book "The Ultimate Surrender"
Table of Contents
Ilusi Kendali: Belajar Menari Saat Badai, Bukan Menghentikan Hujan
Langit yang tadinya biru cerah, dalam sekejap mata berubah menjadi kelabu pekat. Angin mulai bertiup kencang, membawa aroma hujan. Bagus, yang sedang bersiap di beranda untuk melakukan panggilan video penting dengan kliennya di seberang benua, mulai tampak gelisah.
"Sial," gumamnya sambil menatap langit dengan gusar. "Jangan sekarang."
Seolah tak peduli dengan agendanya, langit pun menumpahkan airnya. Hujan turun dengan derasnya, menciptakan musik yang riuh di atap seng dan gemericik yang menenangkan di talang air.
Bagi Mbah Jarkoni, yang duduk santai di kursi goyangnya sambil menyeruput teh, suara itu adalah berkah. Tapi bagi Bagus, itu adalah deklarasi perang.
Ia mondar-mandir seperti singa dalam kandang. "Berantakan semua! Rencanaku berantakan!" serunya frustrasi, sambil sia-sia mencoba mencari sinyal di ponselnya. "Koneksi pasti jelek. Ini bencana, Mbah!"
Mbah Jarkoni menyesap tehnya dengan tenang, matanya menatap hujan dengan penuh penghargaan. "Hujannya deras sekali, ya. Berkah untuk sawah Pak Tani."
"Berkah?" Bagus hampir berteriak. "Ini mengacaukan pekerjaanku!"
Mbah Jarkoni meletakkan cangkirnya. Ia menatap Bagus dengan tatapan yang dalam, namun jenaka. "Memangnya, sejak kapan langit berjanji akan mengikuti agendamu, Le?"
Kisah Sang Arsitek Menara Pasir
Bagi Bagus, hidup adalah serangkaian proyek yang harus dikelola. Rencana harian, target mingguan, resolusi tahunan—semua adalah bata untuk membangun menara kesuksesan yang ia yakini bisa ia rancang dan kendalikan sepenuhnya. Ia adalah sang arsitek.
Ilusi kendali ini memberinya rasa aman yang rapuh. Ia percaya, jika ia bekerja cukup keras, menyusun strategi cukup cerdas, dan mengantisipasi semua risiko, maka ia bisa memaksa kehidupan untuk tunduk pada cetak biru yang telah ia buat.
Energinya habis bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk cemas. Cemas akan hal-hal tak terduga: macet di jalan, sakit flu, pasar saham yang anjlok, atau sekadar hujan deras di waktu yang salah. Ketika realitas tidak sesuai dengan rencananya, ia tidak melihatnya sebagai sebuah peristiwa netral. Ia melihatnya sebagai sebuah kegagalan personal. Sebuah serangan terhadap otoritasnya sebagai arsitek hidupnya.
Kemarahannya pada hujan sore itu bukanlah kemarahan pada air yang jatuh dari langit. Itu adalah kemarahan seorang tiran kecil yang kerajaannya tidak mau patuh. Ia sedang berperang dengan kenyataan, sebuah peperangan yang sudah pasti ia akan kalah.
Petuah Mbah Jarkoni: Jadilah Peselancar, Bukan Pembangun Bendungan
Mbah Jarkoni menunjuk ke arah hujan lebat di luar. "Kamu itu, Gus, seperti orang yang mencoba membangun bendungan di tengah laut dengan tangan kosong. Kamu berusaha menahan setiap ombak yang datang, mengumpat setiap kali ombak itu lebih besar dari perkiraanmu. Kamu akan lelah, frustrasi, dan akhirnya ditelan oleh ombak yang sama yang ingin kamu kendalikan."
Bagus terdiam, napasnya masih memburu karena marah.
"Sekarang, coba bayangkan seorang peselancar," lanjut Mbah Jarkoni. "Apakah dia mencoba menghentikan ombak? Tentu tidak, itu gila. Sebaliknya, dia menghormati kekuatan ombak. Dia tidak melawannya. Dia mempelajarinya, merasakannya, lalu dengan keahliannya, ia menari di atasnya. Dia menggunakan kekuatan ombak yang tak terkendali itu justru untuk membawanya ke pantai dengan gembira."
"Itulah surrender yang sejati, Gus. Bukan pasrah menyerah. Tapi kebijaksanaan untuk tahu mana yang bisa kau kendalikan—yaitu papan selancarmu dan keseimbangan tubuhmu—dan mana yang tidak bisa kau kendalikan, yaitu samudra itu sendiri. Berhentilah mengutuk hujan. Mungkin ini saatnya kamu belajar membuat teh yang enak."
Kutipan Sunyi:
“Seorang filsuf kuno pernah berkata, 'Kita tidak bisa mengendalikan arah angin, tapi kita selalu bisa menyesuaikan layar kapal kita.' Kamu terlalu sibuk mengutuk angin, sampai lupa cara menyentuh layarmu.”
Latihan Kontemplatif: Mengendurkan Genggaman
1. Duduklah dengan tegak. Kepalkan kedua tanganmu sekuat yang kau bisa. Rasakan ketegangan di setiap jari, di telapak tangan, menjalar hingga ke lenganmu. Inilah energi dari 'kontrol'. Tahan selama beberapa detik.
2. Sekarang, dengan kesadaran penuh dan secara perlahan, lepaskan kepalan itu. Buka jari-jarimu, satu per satu. Rasakan aliran darah kembali, rasakan sensasi hangat dan lega yang menyebar. Inilah energi dari 'melepaskan'.
3. Pikirkan satu hal dalam hidupmu saat ini yang sangat ingin kamu kendalikan, namun tidak bisa. (Keputusan orang lain, kondisi kesehatan, situasi pekerjaan). Bayangkan masalah itu adalah seekor burung kecil yang ada dalam genggamanmu yang erat. Kamu menyakitinya, dan kamu menyakiti tanganmu sendiri.
4. Lakukan lagi gerakan membuka telapak tangan itu. Saat kamu melakukannya, bayangkan burung itu kini terbang bebas. Kamu tidak membunuhnya, kamu tidak mengusirnya. Kamu hanya memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
5. Rasakan kelegaan yang luar biasa di tanganmu (pikiranmu) saat kamu tidak lagi harus mencengkeramnya.
Afirmasi Surrender
Letakkan telapak tanganmu di paha dalam keadaan terbuka dan rileks. Ucapkan dengan tenang:
"Aku melakukan bagianku dengan sebaik-baiknya, dan aku melepaskan sisanya. Aku tidak bisa mengendalikan segalanya, dan itu tidak apa-apa. Aku memilih untuk menari dengan alur kehidupan, bukan berperang melawannya."
Panduan "Zero ON Moment"
Gunakan ini sebagai mantra pertolongan pertama saat rencanamu berantakan. Namanya: Tiga Kata Ajaib.
Ketika sesuatu terjadi di luar kendalimu—penerbangan dibatalkan, klien marah, mobil mogok—dan kamu merasakan gelombang frustrasi dan kemarahan mulai naik: Hentikan sejenak.
Ambil satu tarikan napas dalam. Lalu, ucapkan tiga kata ini di dalam hatimu, bukan dengan nada pasrah kalah, tapi dengan kebijaksanaan seorang peselancar yang melihat ombak besar datang:
"Memang seharusnya begini."
Tiga kata ini bukan berarti situasi itu baik atau buruk. Ia hanyalah sebuah pengakuan atas realitas apa adanya, saat ini. Ia adalah rem darurat yang menghentikan peperangan sia-siamu dengan kenyataan. Momen ketika kamu berhenti berdebat dengan apa yang ada—itulah Titik Nol-mu. Momen kembalinya kewarasan.
Bersambung...
Rahayu... See you... Love you... Semesta on... 🙏💓
Posting Komentar