BAGIAN 1: SELAMAT DATANG DI KANDANG PENDERITAAN
(Mengenali Jeruji Tak Kasat Mata yang Kita Bangun Sendiri)
Bab 1 dari ebook : The Power Of Jeda : Saat Kamu Diam, Semua Akan Melepas
Penyakit Paling Umum di Dunia Bernama 'Aku'
Aku meminumnya.
Rasanya? Pahit. Pekat. Tanpa gula, tanpa ampun. Kopi itu seperti esensi malam yang diseduh, mengalir di kerongkongan dan mendarat di perutku dengan hangat yang tegas. Aku menunggu. Mungkin akan ada pencerahan surgawi, kilasan cahaya, atau setidaknya perasaan lega seperti di iklan obat maag.
Tidak ada.
Yang ada hanya rasa pahit di lidah dan kesadaran yang anehnya terasa lebih jernih. Badai di kepalaku tidak reda, tapi aku bisa melihat awan-awannya dengan lebih jelas. Aneh.
Tak lama, Mbah Jarkoni masuk kembali, rokok kreteknya sudah hampir habis dijepit di antara dua jari. Ia duduk lagi di seberangku tanpa diundang, menatapku dengan sorot mata yang sama—setengah geli, setengah menginterogasi.
“Jadi, apa yang pergi?” tanyanya.
Aku berpikir sejenak. “Tidak ada, Mbah,” jawabku jujur. “Masih sama saja. Revisi bos masih terasa menyebalkan, penolakan itu masih terasa nyeri.”
Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang tak rata namun bersih. “Bagus. Berarti kamu jujur. Penderitaan itu lengket, Mas. Mana mau pergi cuma karena kopi.”
“Saya kira ini Kopi Lepas Batin?” protesku, merasa sedikit tertipu.
“Kopinya cuma pemicu. Alarm kebakaran,” katanya sambil menunjuk kepalaku. “Alarmnya bunyi supaya kamu sadar ada yang terbakar di dalam. Tapi yang memadamkan api ya harus kamu sendiri. Bukan alarmnya.”
Ia menghela napas, kali ini napasnya ringan, tidak seperti napasku tadi. “Yang terbakar di dalam dirimu itu bukan revisi dari bos, bukan centang biru. Sumber segala penderitaanmu yang terasa nyata itu cuma satu, Mas: penyakit paling umum, paling kuno, dan paling dihormati di dunia.”
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya sedikit berbisik seolah membocorkan rahasia negara.
“Penyakit bernama ‘Aku’.”
Aku mengerutkan dahi. “Aku?”
“Betul. ‘Aku’,” ulangnya. “Penyakit yang gejalanya adalah kalimat-kalimat seperti: ‘Kenapa ini terjadi padaku?’, ‘Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini’, ‘Aku harusnya lebih baik dari dia’, ‘Hidupku gagal’.”
Kisah Si 'Aku' yang Rapuh dan Butuh Tepuk Tangan
Mbah Jarkoni menyandarkan punggungnya kembali. “Begini, biar gampang. Bayangkan si ‘Aku’ di dalam dirimu itu sebagai tokoh utama dalam sebuah film yang kamu sutradarai sendiri, kamu tulis naskahnya, dan kamu perankan sendiri. Sejak kecil, kamu membangun karakter ini. Kamu memberinya nama, cerita masa lalu, ambisi, dan serangkaian aturan ketat.”
Ia mulai menghitung dengan jarinya. “Aturan pertama: ‘Aku harus sukses’. Aturan kedua: ‘Aku harus disukai dan dihormati’. Aturan ketiga: ‘Aku tidak boleh kelihatan bodoh atau lemah’. Aturan keempat: ‘Dunia harus berjalan sesuai mauku’. Dan seterusnya, ribuan aturan tak tertulis.”
“Penderitaan,” lanjutnya, “muncul ketika realita di luar sana tidak cocok dengan naskah film si ‘Aku’. Bos merevisi hasil kerjamu? Itu menyerang naskah ‘Aku Adalah Karyawan Sempurna’. Gebetan tidak membalas pesanmu? Itu merobek halaman dari bab ‘Aku Pantas Dicintai dan Diinginkan’. Si ‘Aku’ ini adalah aktor yang sangat rapuh. Ia hidup dari tepuk tangan penonton yang bernama validasi. Sekali tidak ada tepuk tangan, ia merasa pertunjukannya gagal total dan dunianya runtuh.”
Membedah Ego: Lapisan Gengsi, Ketakutan, dan Keinginan
Aku terdiam, mencoba mencerna. Analogi itu terasa menampar, sama seperti rasa pahit kopinya.
“Si ‘Aku’ ini,” Mbah Jarkoni melanjutkan, seolah sedang memberikan kuliah di warung sepi itu, “sering disebut juga Ego. Kalau kita bedah, isinya kayak kue lapis. Manis tapi bikin repot.”
“Lapisan paling luar, yang paling cantik warnanya, itu Gengsi. Ini yang membuatmu ingin pamer, ingin terlihat hebat, ingin menjaga citra. Lapisan ini tipis, gampang sekali tergores. Kena kritik sedikit, langsung robek.”
“Di bawahnya, ada lapisan yang lebih tebal dan lengket: Ketakutan. Takut gagal, takut ditolak, takut diremehkan, takut tidak cukup baik. Lapisan ketakutan inilah yang membuat lapisan Gengsi di atasnya jadi kaku dan tegang.”
“Dan di paling dalam, intinya, adalah Keinginan. Keinginan untuk diakui, keinginan untuk mendapatkan lebih, keinginan untuk mengontrol, keinginan untuk merasa aman. Inilah bahan bakar yang terus-menerus menyalakan api penderitaan. Keinginan yang tak terpenuhi menciptakan kekecewaan. Keinginan yang terancam menciptakan kecemasan.”
Ia menunjukku dengan ujung dagunya. “Jadi, yang tersinggung dengan revisi bos itu bukan kamu yang sejati. Itu adalah lapisan Gengsi dari si ‘Aku’. Yang merasa nyeri karena centang biru itu bukan kamu, tapi lapisan Ketakutan dan Keinginan dari si ‘Aku’ yang sedang meratap karena naskahnya tidak berjalan mulus.”
Ia menyeruput lagi kopi dari batok kelapanya yang entah sejak kapan sudah terisi kembali.
“Jadi, sebelum kita bicara cara lepas dari penderitaan,” katanya menutup babak pertama kuliahnya, “kamu harus kenal dulu dengan direktur sekaligus aktor utamanya. Masalahnya, si aktor ini sering sekali lupa kalau dia cuma sedang berakting."
Posting Komentar