MBAH JARKONI DEBAT DENGAN SEORANG FILSUF TENTANG "KARMA"

Table of Contents

(Profesor Roki duduk dengan postur tegap di hadapan Mbah Jarkoni. Berbeda dari tamu lain yang datang dengan kebingungan, Roki datang dengan sebuah masalah filosofis untuk dipecahkan.)

Profesor Roki: "Mbah, mari kita langsung ke salah satu konsep Timur yang paling fundamental sekaligus problematis: Karma. Secara filosofis, karma didefinisikan sebagai hukum kausalitas moral universal. Setiap tindakan sebagai 'sebab' akan menghasilkan 'akibat' yang setimpal. Pertanyaan saya ada dua bagian. Pertama, apakah definisi ini cukup komprehensif? Kedua, dan ini yang lebih krusial, jika karma adalah sebuah 'hukum' yang universal, bagaimana mungkin sebuah entitas bisa 'lepas' dari hukum tersebut tanpa menciptakan sebuah paradoks logis?"

Mbah Jarkoni: (Tersenyum tipis, matanya menatap Roki dengan jenaka) "Profesor, Anda ini memang luar biasa. Pertanyaan Anda itu seperti ombak di tengah lautan yang dengan sangat cerdas bertanya, 'Bagaimana caranya saya, sebagai ombak, bisa lari dari hukum pasang surut?'"

Profesor Roki: "Sebuah analogi puitis, Mbah. Tapi bagaimana itu menjawab paradoks yang saya ajukan?"

Mbah Jarkoni: "Sabar dulu, Prof. Mari kita ikuti logikamu. Bayangkan satu ombak itu. Dia muncul, dia merasa 'Aku adalah ombak yang tinggi!' atau 'Aku ombak yang kecil!'. Dia merasa 'mendorong' buih ke pantai. Dia merasa 'menarik' pasir kembali ke laut. Dia sibuk mencatat semua 'sebab' dan 'akibat' yang dia lakukan. Dia punya 'karma'-nya sendiri. Dan dia sangat takut pada takdirnya, yaitu saat dia nanti pecah di bibir pantai."

(Mbah berhenti, membiarkan Roki mengikuti alur ceritanya.)

Mbah Jarkoni: "Karena takut pecah, si ombak pintar ini berpikir keras, 'Bagaimana caranya aku, si ombak, bisa lepas dari hukum lautan ini?'. Dia tidak sadar, Profesor. Dia mengajukan pertanyaan yang salah sejak awal."

Profesor Roki: "Pertanyaan yang salah?"

Mbah Jarkoni: "Iya. Pertanyaan yang benar bukanlah 'Bagaimana si ombak bisa lepas dari hukum lautan?'. Pertanyaan yang benar adalah 'Kapan si ombak sadar bahwa dirinya bukan hanya ombak, tapi juga lautan itu sendiri?'"

(Profesor Roki terdiam. Mesin logikanya yang biasanya berjalan cepat, kini melambat, mencoba memproses pergeseran fundamental itu.)

Mbah Jarkoni: "Anda, Profesor, dengan segala logika Anda yang tajam, sedang berusaha mencari cara agar 'si ombak' bisa selamat dari takdirnya. Anda sibuk menganalisis 'karma' yang melekat pada 'si ombak yang terpisah'."

"Kearifan kuno tidak mengajak ombak untuk lari dari pantai, atau meniadakan hukum pasang surut. Kearifan kuno hanya berbisik lembut di telinga si ombak, 'Hey, kamu itu bukan sekadar percikan air yang sebentar lagi akan lenyap. Kamu itu seluruh samudra yang sedang iseng bermain menjadi ombak'."

"Sekarang Mbah tanya balik, Profesor. Jika si ombak sadar bahwa ia adalah samudra, apakah ia masih punya 'karma pribadi'? Apakah samudra punya 'utang' pada pantai? Apakah samudra 'takut' pada hukum pasang surut? Kan tidak. Samudra adalah hukum itu sendiri."

Profesor Roki: (Menarik napas dalam-dalam, menatap kosong ke depan sejenak) "Jadi, Mbah... 'lepas dari karma' itu bukanlah sebuah tindakan atau proses penebusan... melainkan sebuah pergeseran fundamental dalam identitas? Dari 'aku sebagai entitas yang mengalami karma' menjadi 'kesadaran di mana seluruh proses karma itu terjadi'?"

Mbah Jarkoni: (Tertawa puas) "Anda yang menjawab sendiri, dan jawaban Anda jauh lebih canggih dari bahasa Mbah. Hehehe. Jadi, jangan sibuk mengeringkan satu ombak yang takut akan nasibnya, Profesor. Cukup sadari saja bahwa Anda adalah seluruh samudra yang sedang asyik bermain."

Pitutur Penutup dari Mbah:

Pikiran yang terdidik akan sibuk mencari cara untuk membebaskan sang narapidana dari selnya. Ia akan mempelajari hukum, mencari celah, dan merancang strategi pelarian yang paling hebat.

Namun, kebijaksanaan hanya akan datang dan berbisik, "Bagaimana jika kukatakan padamu bahwa tidak ada narapidana? Yang ada hanyalah sang sipir yang bermimpi bahwa ia sedang terkurung."

Melepaskan diri dari karma bukanlah tentang membayar utang masa lalu. Ia adalah tentang menyadari bahwa 'sang penghutang' itu sendiri hanyalah sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang merasa terpisah. Saat sang ombak sadar dirinya adalah lautan, utang apa lagi yang perlu ia bayarkan?

👇 Ayo Ngobrol Bareng Mbah!

Diskusi ini membuat logikamu berputar? Tekan tombol Like jika kamu menangkap maksud Mbah, Bagikan ke teman-teman filsafatmu, dan Komentar di bawah, kamu lebih sering merasa jadi 'ombak' atau 'lautan'?

Rahayu... See you... Love You... Semesta ON... 🙏💓

Posting Komentar