Pertemuan di Tengah Badai Batin dan Secangkir Kopi yang Menampar

Table of Contents

Prolog : Ebook The Power Of Jeda : Saat Kamu Diam, Semua Akan Melepas

Pertemuan di Tengah Badai Batin dan Secangkir Kopi yang Menampar

Dunia sedang berkomplot untuk menertawakanku. Aku yakin sekali.

Hujan di luar turun bukan sebagai fenomena alam, melainkan sebagai properti drama yang sengaja dipesan semesta untuk mengiringi kemalanganku. Setiap tetesnya yang menghantam jendela kantor adalah satu tawa kecil dari langit. Cekikik. Cekikik. Lihat si pecundang itu.

Di layar laptop, dokumen revisi dari bos menyala lebih merah dari rapor anak bandel. Di ponsel, pesan WhatsApp ke dia yang kuharap jadi ‘seseorang’ hanya centang dua biru tanpa balas sejak kemarin—sebuah monumen digital untuk penolakan sunyi. Di media sosial, cuitan motivasiku tentang “meraih mimpi” hanya mendapat dua like, salah satunya dari akun bot penjual peninggi badan. Lengkap sudah. Penderitaan level milenial urban dengan sentuhan komedi tragis.

Aku mematikan laptop dengan gerakan dramatis yang tak disaksikan siapa-siapa. Aku butuh udara. Bukan, aku tidak butuh udara. Aku butuh tempat untuk meratapi nasib dengan khusyuk.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menembus gerimis, membiarkan rambut dan harga diriku basah kuyup. Aku berjalan tanpa tujuan, sebuah klise hidup yang sedang kugeluti dengan sepenuh hati. Kakiku berhenti di depan sebuah kedai yang entah sejak kapan ada di tikungan jalan ini. Tempatnya aneh. Papan namanya terbuat dari kayu lapuk yang sudah menghijau, bertuliskan cat yang nyaris luntur: “Warung Kopi Ujung Akal Sehat”.

Aromanya lebih aneh lagi. Wangi kopi sangrai yang pekat dan nikmat, tapi bercampur dengan bau samar kemenyan dan minyak sereh. Ini warung kopi atau tempat persiapan ritual? Karena sudah terlanjur basah dan putus asa, aku tak punya pilihan yang lebih baik.

Bagian dalamnya remang-remang, hanya diterangi beberapa lampu kuning. Hanya ada satu pelanggan lain di sudut ruangan. Aku menghampiri meja bar, memesan “kopi hitam satu,” lalu duduk di kursi kayu yang reyot. Sambil menunggu, aku menghela napas panjang dan berat. Sengaja kulepaskan dengan sedikit efek suara, berharap barista yang juga merangkap sebagai pemilik akan bertanya, “Kenapa, Mas?” lalu aku bisa memulai sesi curhat gratisku.

Tapi barista itu hanya mengangguk dan sibuk dengan alat-alatnya. Justru suara dari sudut ruangan yang merespons.

“Napasmu itu, Mas... berat sekali.”

Suaranya serak, dalam, dan terdengar geli. Aku menoleh. Di sanalah dia, satu-satunya pelanggan lain. Seorang lelaki tua dengan rambut gondrong berwarna perak yang diikat asal-asalan. Ia memakai kaus oblong lusuh bertuliskan “Sabar Itu Capek” dan sarung batik motif parang yang warnanya sudah memudar. Di depannya, bukan cangkir keramik atau gelas kaca. Ia menyeruput kopinya langsung dari sebuah batok kelapa yang permukaannya halus mengilap.

Aku hanya diam, sedikit kesal karena sesi meratapku diganggu.

Lelaki tua itu terkekeh pelan, seolah bisa mendengar pikiranku. “Kayak bawa ransel isi cicilan KPR, kenangan mantan, sama ekspektasi orang tua, ya?” lanjutnya, matanya yang tajam menatapku lurus, menembus lapisan kepura-puraan yang kubangun.

Aku tercekat. Bagaimana…

“Penderitaan itu kalau terlalu lama dipeluk, jadi bau apek, Mas,” katanya lagi sambil meletakkan batok kelapanya. “Bikin sesak napas. Bukan cuma napasmu, tapi napas orang di sekitarmu juga.”

Lidahku kelu. Analogi ranselnya tadi terlalu tepat sasaran. Dia seperti baru saja mengintip isi kepalaku, menertawakan isinya, lalu merapikannya sedikit.

Dia bangkit dari kursinya, berjalan santai ke arahku sambil membawa batok kelapanya. Dia meletakkannya di mejaku. Aroma kopi, kemenyan, dan sereh kini menguar tepat di depan hidungku.

“Ini,” ujarnya. “Coba kopiku. Namanya Kopi Lepas Batin.”

Aku menatapnya bingung, lalu menatap batok kelapa berisi cairan hitam pekat itu.

“Jangan cuma ditelan,” katanya, matanya menyipit geli. “Rasakan. Nanti kalau sudah selesai, ceritakan padaku apa yang pergi dari ranselmu itu.”

Ia lalu berjalan ke luar warung, duduk di bangku reyot di teras, dan mulai menyalakan sebatang rokok kretek, membiarkanku sendirian dengan secangkir kopi paling aneh yang pernah kutemui.

Tanganku yang agak gemetar meraih batok kelapa itu. Hangat.

Dan di warung kopi paling aneh di ujung akal sehatku, aku akan meminum kopi paling aneh dari orang paling aneh, dengan harapan samar bahwa mungkin, hanya mungkin, penderitaanku juga bisa diajaknya pamit.

Posting Komentar