Sudah Cukup
(Tono duduk terdiam di lincak bambu, matanya menatap kosong ke arah taman yang basah oleh embun. Wajahnya tidak lagi bingung atau cemas seperti biasanya. Ada sejenis keheningan yang aneh di sana. Mbah Jarkoni datang dan duduk di sebelahnya, hanya diam, tidak bertanya.)
Tono: (Setelah hening yang panjang, ia berbisik) "Mbah... pagi ini rasanya aneh."
Mbah Jarkoni: (Tanpa menoleh, hanya menatap ke depan) "Aneh kenapa, Le?"
Tono: "Saya tidak tahu. Biasanya, setelah saya meditasi, pikiran saya langsung sibuk membuat daftar: 'Oh, saya harus lebih sabar hari ini', 'Oh, saya harus lebih ikhlas lagi', 'Oh, masih ada kemarahan yang perlu saya bersihkan'. Selalu ada 'pekerjaan rumah' spiritual yang harus saya lakukan agar menjadi lebih baik.".
(Ia berhenti, menarik napas dalam-dalam.)
Tono: "Tapi pagi ini... kosong. Hening. Tidak ada yang ingin saya kejar, tidak ada yang ingin saya perbaiki. Rasanya... cukup. Begitu saja. Apakah ini... kemalasan spiritual, Mbah? Apa saya sudah menyerah pada perjalanan ini?"
Mbah Jarkoni: (Perlahan menoleh, dan untuk pertama kalinya, Tono melihat Mbah tersenyum dengan sangat lebar dan tulus, matanya berkaca-kaca.) "Hahaha! Kemalasan? Menyerah? Tono, Tono... Kamu ini lucu sekali."
"Kamu sudah berjalan ribuan kilometer, mendaki gunung paling tinggi, menyeberangi samudra paling dalam... dan sekarang, saat kamu akhirnya sampai di puncak tertinggi, kamu malah bertanya, 'Apa saya tersesat, Mbah?'"
Tono: (Tampak bingung) "Puncak, Mbah?"
Mbah Jarkoni: "Iya. Selama ini, kamu sibuk menjadi 'Tono yang kurang'. Kurang sabar, kurang ikhlas, kurang suci, kurang tercerahkan. Kamu terus-terusan berusaha menambal dirimu dengan berbagai 'ilmu' dan 'laku', seperti orang yang sibuk menambal baju yang kau anggap bolong."
"Pagi ini, untuk pertama kalinya, kamu tidak lagi melihat dirimu sebagai baju bolong. Kamu hanya melihat dirimu sebagai... dirimu. Utuh. Apa adanya. Tanpa perlu ditambal. Rasa 'cukup' yang kamu alami itu bukanlah kemalasan, Le."
"Itu adalah garis finisnya."
"Itu adalah tujuan dari semua wiridan, semua meditasi, semua ritual yang pernah kamu lakukan. Tujuannya bukan untuk membuatmu menjadi 'Tono yang super', tapi untuk membuatmu sadar bahwa 'Tono yang sekarang' ini, dengan segala kekurangannya... sudah cukup."
Tono: (Matanya mulai basah oleh air mata haru.)
Mbah Jarkoni: "Kamu tahu apa hal yang paling suci di alam semesta ini, Tono? Bukan mantra yang paling keramat. Bukan kitab suci yang paling tebal. Bukan pula ritual yang paling rumit."
"Hal yang paling suci dan paling langka adalah saat sebuah jiwa, setelah lelah berlari mengejar bayangan kesempurnaan, akhirnya berhenti, menatap dirinya sendiri di cermin batin, dan dengan getaran yang tulus dari lubuk hatinya, ia berbisik:"
"'Aku... cukup.'"
"Di detik itu, semua pencarian selesai. Semua peperangan batin usai. Yang ada hanya kedamaian. Itulah yang disebut 'pulang', Le."
Tono: (Menangis dalam diam, tapi tangisannya terasa ringan dan damai) "Jadi... jadi saya tidak perlu ke mana-mana lagi, Mbah? Saya... sudah sampai?"
Mbah Jarkoni: (Menepuk pundaknya dengan lembut) "Kamu tidak pernah pergi ke mana-mana, Tono. Kamu hanya sibuk berlari di halaman rumahmu sendiri. Selamat datang di rumah."
Pitutur Penutup dari Mbah:
Perjalanan spiritual adalah sebuah paradoks yang agung. Kita melakukan ribuan langkah, membaca ratusan buku, dan melafalkan jutaan doa, hanya untuk tiba pada satu kesadaran: bahwa kita sudah berada di tempat yang kita tuju sejak awal.
Kita sudah utuh. Kita sudah lengkap. Kita tidak perlu menjadi apa pun.
Maka, berhentilah berperang dengan dirimu sendiri. Letakkan semua senjata penghakiman. Lepaskan semua cita-cita untuk menjadi 'sempurna'. Pandanglah dirimu hari ini, saat ini, dan bisikkan kalimat paling suci yang bisa diucapkan oleh sebuah jiwa: "Aku cukup." Di situlah surga yang sebenarnya berada.
Rahayu... See you... Love You... Semesta ON... 🙏💓
Posting Komentar