BAB 13 : E-book "The Ultimate Surender"
Pemberontakan yang Melelahkan: Menemukan Kebebasan di Luar Perlawanan
Pagi itu, Mbah Jarkoni memberi tugas sederhana pada semua orang. "Hari ini, mari kita syukuri bumi dengan menyapu halaman. Aturannya cuma satu, sapu semua daun kering ke arah timur, ke arah matahari terbit, sebagai simbol memulai hari."
Semua orang mengambil sapu lidi dan mulai bekerja. Namun, Jatmiko yang kini lebih awas, memperhatikan Wira. Di saat yang lain patuh menyapu ke arah timur, Wira dengan sengaja dan демонстративно menyapu tumpukan daunnya ke arah barat.
Jatmiko menghampirinya. "Kenapa ke arah barat, Wir? Bukannya melawan arah angin?"
Wira tersenyum miring, senyum khasnya yang penuh kemenangan kecil. "Aku tidak suka diatur. Kenapa harus ke timur? Siapa yang berhak membuat aturan itu? Aku bebas menentukan arah sapuku sendiri."
Mbah Jarkoni, yang seolah punya mata di belakang kepalanya, menghampiri mereka sambil tersenyum geli. "Kebebasanmu itu nyata sekali, Le. Mbah bisa lihat itu."
Wira tampak bangga.
"Tapi pertanyaan Mbah," lanjut Mbah Jarkoni, "apakah kamu benar-benar bebas memilih arah mana pun yang kamu suka, atau kamu hanya terpaksa memilih arah yang berlawanan dengan aturan? Karena keduanya adalah dua jenis penjara yang berbeda."
Kebanggaan di wajah Wira seketika goyah.
Kisah Sang Tahanan dengan Rantai Terpanjang
Bagi Wira, identitasnya dibangun di atas perlawanan. Ia adalah 'Anti'. Anti-kemapanan. Anti-otoritas. Anti-aturan. Pemberontakan adalah napasnya, caranya membuktikan bahwa ia tidak bisa dikendalikan. Ia merasa sebagai satu-satunya orang yang 'bebas' di antara sekawanan domba.
Inilah paradoks yang melelahkan itu: dengan selalu menjadi 'anti', setiap tindakannya masih ditentukan oleh hal yang ia lawan. Jika aturan berkata 'ke kanan', maka 'kebebasannya' hanyalah 'ke kiri'. Pilihan-pilihannya tidak lahir dari keinginan otentik, tapi dari reaksi reaktif terhadap sebuah perintah.
Musuh yang ia benci itu, tanpa sadar, masih menjadi komandan yang menentukan agendanya—meski secara terbalik.
Energi hidupnya terkuras habis untuk berada dalam mode perlawanan konstan. Ia tidak bisa menikmati secangkir kopi begitu saja; ia harus memastikan kopi itu dari sumber independen yang tidak mengeksploitasi petani. Ia tidak bisa menikmati sebuah lagu begitu saja; ia harus menganalisis liriknya untuk memastikan tidak ada pesan tersembunyi dari 'sistem'.
Ia adalah seorang tahanan yang merasa bebas hanya karena rantainya sedikit lebih panjang dari tahanan lain. Ia bisa berlari ke ujung selnya, tapi ia lupa bahwa ia masih berada di dalam penjara yang sama, yang dindingnya terbuat dari apa yang ia benci.
Petuah Mbah Jarkoni: Titik Poros yang Hening, Bukan Ujung Bandul yang Riuh
Mbah Jarkoni mengambil seutas tali dengan batu kecil di ujungnya, menjadikannya sebuah bandul sederhana.
"Pikiranmu itu seperti bandul ini, Wir," katanya sambil mengayunkan bandul itu ke kanan dan ke kiri. "Di ujung kanan ini ada 'Kepatuhan Buta'. Orang-orang yang ikut saja tanpa bertanya. Kamu benci sisi ini."
"Maka, dengan sekuat tenaga, kamu ayunkan bandulmu ke ujung kiri. Ke 'Pemberontakan Buta'. Kamu merasa ini adalah kebebasan. Tapi lihat," Mbah Jarkoni menunjuk pada tali itu, "keduanya adalah bagian dari ayunan yang sama. Keduanya terikat pada titik poros yang sama di atas sana. Poros itu adalah 'aturan' atau 'otoritas' yang kau lawan. Energimu masih terikat padanya."
Wira menatap ayunan bandul itu dengan pandangan baru.
"Kebebasan sejati itu bukan berada di ujung ayunan yang paling kiri," bisik Mbah Jarkoni. "Kebebasan sejati adalah saat kamu menyadari bahwa kamu bukanlah bandulnya. Kamu adalah titik poros yang hening di tengah itu. Titik yang tidak bergerak. Dari titik hening itu, kamu bisa melihat ayunan ke kiri dan ke kanan. Dan dari sana, kamu bisa memilih dengan sadar: mau ikut berayun, mau diam saja, atau mau berayun ke arah depan dan belakang. Kamu bebas sepenuhnya karena pilihanmu tidak lagi lahir dari reaksi terhadap aturan."
Kutipan Sunyi:
“Seorang guru bijak dari India pernah berkata, ‘Kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk memilih, melainkan bebas dari keharusan untuk memilih.’ Termasuk, bebas dari keharusan untuk selalu memberontak.”
Latihan Kontemplatif: Menemukan Titik Poros yang Hening
- Pikirkan satu 'aturan' atau 'ekspektasi' (dari keluarga, masyarakat, pekerjaan) yang secara otomatis memicu reaksi perlawanan dalam dirimu.
- Pejamkan mata. Rasakan energi perlawanan itu di tubuhmu. Mungkin ada rasa sesak di dada, panas di wajah, atau dorongan untuk berdebat. Akui ini sebagai 'ayunan bandul ke sisi pemberontakan'.
- Sekarang, coba bayangkan energi dari orang yang patuh pada aturan itu. Mungkin ada rasa cemas ingin diterima, atau rasa aman karena mengikuti. Akui ini sebagai 'ayunan bandul ke sisi kepatuhan'.
- Setelah mengamati kedua energi ekstrem itu, tarik kesadaranmu dari ujung-ujung ayunan menuju ke pusatnya. Ke titik tempat tali bandul itu tergantung. Titik yang diam, netral, dan tidak terpengaruh oleh ayunan. Inilah pusat kesadaranmu.
- Beristirahatlah di titik poros yang hening ini. Dari sini, pandanglah kembali 'aturan' itu. Lihat, ia kini kehilangan kekuatannya untuk menarikmu ke kiri atau ke kanan. Ia hanyalah sebuah informasi, bukan sebuah perintah atau tantangan. Dari sini, barulah kamu bisa memilih respon yang benar-benar bebas.
Afirmasi Surrender
Letakkan tanganmu di dada, rasakan ketenangan di pusatnya. Ucapkan:
"Kebebasanku tidak ditentukan oleh apa yang aku lawan, tetapi oleh kemampuanku untuk memilih dari titik hening di dalam diriku. Aku melepaskan kebutuhan untuk memberontak. Aku memilih kebebasan yang otentik dan damai."
Panduan "Zero ON Moment"
Gunakan ini saat kamu merasakan dorongan reaktif untuk melawan atau menolak. Namanya: Pertanyaan Netral.
Ketika sebuah saran, permintaan, atau aturan datang padamu dan reaksi pertamamu adalah "Tidak mau!" atau "Kenapa harus begitu?", HENTIKAN sejenak.
Ambil satu napas. Sebelum merespon, ajukan pertanyaan netral ini pada dirimu sendiri dalam hati:
"Jika tidak ada aturan dan tidak ada keharusan untuk melawan aturan, apa yang paling terasa benar untukku saat ini?"
Pertanyaan ini secara ajaib mengangkatmu dari ayunan bandul 'patuh/lawan' dan menempatkanmu di titik poros kedaulatanmu. Respon yang muncul dari sana, entah itu 'iya' atau 'tidak', akan lahir dari tempat yang otentik, bukan reaktif. Momen ketika kamu mengajukan pertanyaan ini—itulah Titik Nol-mu.
Posting Komentar