BAB 17 : E-Book "The Ultimate Surender"

Table of Contents

Ilusi Keterpisahan: Melihat Dirimu dalam Segala Sesuatu


Jatmiko sedang berjongkok di tepi taman, mengamati barisan semut yang bekerja tanpa lelah mengangkut sebutir nasi. Ia melihat seekor lebah berdengung dari satu bunga ke bunga lain. Ia melihat cacing yang menggemburkan tanah, dan jamur yang mengurai daun-daun mati.

Sebuah kesadaran baru yang hening menyelimutinya.

"Aneh ya, Mbah," katanya pelan saat Mbah Jarkoni menghampirinya. "Bunga butuh lebah. Lebah butuh bunga. Tanah butuh cacing. Cacing butuh daun mati. Mereka semua terlihat seperti makhluk yang berbeda, sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi jika dilihat dari jauh, mereka sebenarnya adalah satu tubuh raksasa yang saling menghidupi. Mereka adalah taman itu sendiri."

Mbah Jarkoni tersenyum, senyumnya begitu lapang dan hangat. "Kamu sudah mulai melihatnya dengan mata hatimu, Le. Bukan lagi dengan mata kepalamu."

Ia duduk di samping Jatmiko. "Ilusi terbesar, akar dari semua penderitaan yang kita bongkar selama ini, bukanlah keyakinan bahwa kita tidak cukup baik, atau bahwa dunia tidak adil. Ilusi paling dasar adalah keyakinan bahwa ada 'aku' di sini," Mbah menunjuk dada Jatmiko, "dan ada 'kamu' atau 'dunia' di luar sana."

"Yang kau sebut 'Jatmiko' itu," bisik Mbah Jarkoni, "hanyalah sebuah jendela tempat Semesta

memandangi dirinya sendiri."

Kisah Sang Ombak yang Merasa Kesepian di Tengah Lautan

Bayangkan dirimu adalah sebuah ombak di tengah samudra yang luas. Kamu punya bentuk yang unik, punya ketinggian dan kecepatanmu sendiri. Kamu melihat ombak-ombak lain di sekelilingmu. Ada ombak yang lebih besar, membuatmu merasa iri. Ada ombak yang lebih kecil, membuatmu merasa superior. Ada ombak yang bergerak ke arah yang sama, menjadi kawanmu. Ada ombak yang datang dari arah berlawanan, menjadi musuhmu.

Sebagai ombak, kamu merasa sendirian. Kamu lahir dari ketiadaan, menjalani hidup yang singkat dan penuh perjuangan, lalu akan 'mati' dan lenyap saat menghantam pantai. Ini adalah tragedi sang ego, sang diri yang terpisah.

Seluruh penderitaan para penghuni pendopo lahir dari 'penyakit ombak' ini:

  1. Raras menderita karena 'ombak' yang ia cintai meninggalkannya sendirian.
  2. Bagus menderita karena harus menjadi 'ombak' yang paling tinggi dan paling cepat.
  3. Wira menderita karena 'ombak-ombak besar' (sistem) selalu mencoba menindas 'ombak kecil' seperti dirinya.
  4. Laras menderita karena 'ombak' dirinya terus-menerus mencoba menyelamatkan ombak-ombak lain hingga ia kehabisan energi.
  5. Ningrum menderita karena 'ombak' dirinya merasa paling tahu tentang hakikat lautan dibandingkan ombak-ombak lain.

Mereka semua lupa satu hal yang paling fundamental.

Petuah Mbah Jarkoni: Kamu Bukan Ombaknya, Kamu Adalah Lautannya

"Apakah sebuah ombak benar-benar terpisah dari lautan, Le?" tanya Mbah Jarkoni. "Tentu tidak. Hakikat sejati dari ombak adalah air. Ia adalah lautan itu sendiri yang sedang mengekspresikan dirinya dalam bentuk ombak untuk sesaat."

"Saat ombak itu pecah di pantai, apakah ia 'mati' dan hilang? Tidak. Ia tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya melepaskan bentuk sementaranya dan kembali menyatu dengan esensinya yang tak terbatas, yaitu lautan itu sendiri. Ia menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar terpisah."

"Begitu pula dengan kita," kata Mbah Jarkoni, suaranya kini terdengar seperti deburan ombak itu sendiri. "Kita adalah ekspresi sementara dari satu Kesadaran Agung yang sama. Satu Kehidupan yang sama. Perbedaan kita—bentuk tubuh, nama, cerita hidup—hanyalah riak-riak di permukaan. Tapi di kedalaman, kita semua terbuat dari 'air' yang sama."

"Jika kamu benar-benar bisa melihat ini, bagaimana mungkin kamu bisa membenci orang lain? Itu sama saja dengan tangan kirimu membenci tangan kananmu. Bagaimana mungkin kamu bisa merasa benar-benar kesepian? Itu sama saja dengan setetes air merasa kesepian di tengah samudra. Surrender yang paling pamungkas adalah menyerahkan ilusi bahwa kamu adalah 'seorang individu yang terpisah'."

Kutipan Sunyi:

“Seorang bijak dari India pernah ditanya, 'Bagaimana aku harus memperlakukan orang lain?' Ia tersenyum dan menjawab, 'Tidak ada orang lain.'”

Latihan Kontemplatif: Melihat Dirimu di Mata Orang Lain

Latihan ini paling baik dilakukan dengan pasangan, tapi bisa juga dengan membayangkan seseorang dengan jelas.

  1. Duduklah berhadapan dengan seseorang dalam keheningan. Jika sendiri, pejamkan mata dan bayangkan orang itu di hadapanmu.
  2. Tatap matanya dengan lembut (atau mata imajinernya). Lepaskan semua cerita, label, dan sejarah yang kamu punya tentang orang ini.
  3. Lihat melampaui bentuk fisiknya. Lihat ke dalam matanya, yang disebut sebagai 'jendela jiwa'. Sadari bahwa di balik mata itu, ada sebuah 'kesadaran' yang sedang mengamati.
  4. Sekarang, sadari juga 'kesadaran' yang sedang mengamati dari balik matamu sendiri. Tanyakan dalam hati, "Apakah 'kesadaran' yang ini berbeda secara fundamental dengan 'kesadaran' yang itu?"
  5. Ucapkan dalam hati mantra welas asih ini: "Sama sepertiku, orang ini ingin bahagia. Sama sepertiku, orang ini ingin bebas dari penderitaan. Sama sepertiku, orang ini pernah merasa takut dan sedih."
  6. Rasakan dinding pemisah antara "aku" dan "kamu" perlahan meluruh, bahkan jika hanya untuk sesaat.

Afirmasi Surrender

Letakkan tanganmu di atas hati. Rasakan napasmu yang menghubungkanmu dengan seluruh kehidupan. Ucapkan:

"Aku melepaskan ilusi bahwa aku terpisah. Aku adalah ombak, dan pada saat yang sama, aku adalah seluruh lautan. Apa yang kulakukan pada orang lain, sesungguhnya kulakukan pada diriku sendiri. Di dalam keheningan, kita adalah Satu."

Panduan "Zero ON Moment"

Gunakan ini dalam setiap interaksi sehari-hari untuk melarutkan dinding pemisah. Namanya: Tatapan Sang Lautan.

Ketika kamu berbicara dengan siapa pun—kasir toko, pasanganmu, atasanmu—ambil satu detik untuk benar-benar menatap mata mereka.

Jangan hanya melihat 'peran' mereka (kasir, atasan). Coba lihat melampaui itu. Lihatlah 'kehidupan'—percikan kesadaran yang sama—yang sedang menatap balik kepadamu dari mata itu. Lalu sadari, 'kehidupan' yang sama persis sedang melihat keluar dari matamu sendiri.

Momen ketika kamu berhenti melihat 'peran' dan mulai merasakan 'kehidupan' yang sama di dalam dirimu dan diri orang lain—itulah Titik Nol-mu. Momen di mana dua ombak sejenak menyadari bahwa keduanya terbuat dari air laut yang sama.

Posting Komentar