Bab 2: Kenapa Otakmu Mirip Komedi Putar Rusak?

Table of Contents

Aku menatap Mbah Jarkoni, masih berusaha memproses konsep ‘Aku’ yang sedang berakting. “Tapi, Mbah... rasanya nyata sekali,” kataku pelan. “Sakitnya, malunya, cemasnya... itu semua terasa di badan.”

Mbah Jarkoni menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, membiarkan asapnya menari sejenak sebelum mengembuskannya perlahan. “Tentu saja terasa nyata. Aktornya latihan setiap hari, 24 jam, tanpa libur. Panggungnya juga selalu siap sedia.”

Ia mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “Panggungnya ada di sini. Dan panggung itu, Mas, bentuknya mirip komedi putar yang sudah rusak.”

Aku pasti terlihat sangat bingung, karena ia tertawa kecil.

“Coba bayangkan,” lanjutnya. “Setelah kejadian-kejadian tadi—revisi bos, pesan tak berbalas—apa yang terjadi di dalam kepalamu? Pikiranmu mulai berputar, kan? Terus-menerus kembali ke adegan yang sama. Kamu putar ulang kata-kata bosmu. Kamu tatap layar ponsel berulang-ulang. Kamu kembali ke kuda kayu yang sama di komedi putar itu: kuda bernama ‘Revisi Bos’ dan kuda bernama ‘Centang Biru’.”

Ia menjentikkan jarinya. “Komedi putarnya berputar kencang, musiknya lagu-lagu sedih tentang kegagalan dan penolakan, pemandangannya tidak berubah, dan anehnya, kamu tidak mau turun. Kamu malah terus di sana, berharap putaran selanjutnya akan terasa berbeda. Padahal tidak. Hasilnya selalu sama: pusing, mual, dan lelah.”

Selamat Datang di Klub Pecandu Overthinking

“Inilah yang disebut overthinking,” kata Mbah Jarkoni, menggunakan istilah modern dengan fasih. “Tapi aku lebih suka menyebutnya ‘Klub Pecandu Komedi Putar’. Sebagian besar manusia di dunia ini adalah anggota premiumnya.”

“Keanggotaannya gratis dan otomatis,” jelasnya. “Iuran bulanannya dibayar pakai kedamaian batin dan energi hidup. Keuntungannya? Tidak ada. Hanya dapat hak eksklusif untuk merasa cemas dan sengsara atas skenario yang belum tentu terjadi atau yang sudah tidak bisa diubah lagi. Aneh, kan? Klub yang merugikan tapi anggotanya setia sekali.”

Setia. Kata itu menusukku. Aku memang setia pada penderitaanku. Aku merawat pikiran-pikiran itu, memutarnya lagi dan lagi, seolah itu adalah tugas suciku.

Lingkaran Setan Penyesalan Masa Lalu dan Kecemasan Masa Depan

“Komedi putar yang rusak ini punya dua mode putaran utama,” Mbah Jarkoni melanjutkan kuliahnya, seolah tahu persis apa yang sedang kupikirkan.

“Mode pertama adalah Putaran ke Belakang. Ini mode favorit untuk mengenang kegagalan. Pikiranmu menjadi arkeolog mental, sibuk menggali fosil-fosil kesalahan. ‘Harusnya aku jawab email bos seperti ini.’ ‘Coba saja dulu aku tidak mengirim pesan itu.’ ‘Kenapa aku sebodoh itu waktu presentasi minggu lalu?’ Kamu berputar ke masa lalu, menganalisis sesuatu yang sudah jadi batu, berharap bisa mengubahnya dengan sihir pikiran. Hasilnya? Penyesalan.”

Ia mengambil jeda untuk menyeruput kopinya lagi.

“Mode kedua adalah Putaran ke Depan. Ini mode untuk merancang bencana. Pikiranmu jadi arsitek malapetaka, sibuk membangun cetak biru untuk semua kemungkinan terburuk di masa depan. ‘Bagaimana kalau besok aku dipecat?’ ‘Pasti nanti dia akan menertawakanku saat bertemu.’ ‘Proyek ini pasti akan gagal total.’ Kamu berputar ke masa depan, bereaksi secara emosional terhadap film horor yang kamu sutradarai sendiri. Hasilnya? Kecemasan.”

Ia menatapku lekat-lekat. “Lihat polanya? Kepalamu terus-menerus berayun antara museum penyesalan dan taman rekreasi ‘Gimana Nanti’. Maju-mundur di atas komedi putar yang sama. Kamu jadi turis waktu yang payah, karena tidak pernah benar-benar ada di satu-satunya tempat nyata yang kamu punya: saat ini.”

Aku tertegun. Diagnosanya lebih tajam dari pisau bedah. Seluruh hidupku adalah tentang berayun di antara dua kutub itu.

“Lalu... bagaimana cara turun dari komedi putar ini, Mbah?” tanyaku, dengan nada putus asa yang tulus.

Mbah Jarkoni tersenyum misterius. “Pertanyaan yang bagus. Tapi ada pertanyaan lain yang lebih penting dari itu.”

Ia mencondongkan tubuhnya lagi, suaranya kini terdengar serius namun tetap jenaka.

“Pertanyaannya bukan ‘bagaimana cara turun’. Tapi, ‘siapa yang terus-menerus membeli tiket untuk naik lagi, padahal sudah tahu wahana itu bikin pusing dan mual?’”

Posting Komentar